Selasa, 09 Juni 2015

JAMINAN SOSIAL KETENAGAKERJAAN BAGI PEKERJA LUAR HUBUNGAN KERJA



Pembangunan nasional yang terus berlangsung selama ini telah memperluas kesempatan kerja dan memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi pekerja dan keluarganya. Namun kemampuan bekerja dan penghasilan dari setiap pekerja dapat berkurang atau hilang karena berbagai risiko yang dialami pekerja seperti kecelakaan, cacat, sakit, hari tua dan meninggal dunia. Risiko ini juga akan berpengaruh pada keadaan sosial ekonomi keluarga dari pekerja itu sendiri. Dalam rangka menanggulangi risiko-risiko tersebut, penting bagi pekerja untuk melindungi dirinya melalui jaminan sosial tenaga kerja.
Risiko kecelakaan kerja misalnya, merupakan risiko yang berhubungan dengan kerja, termasuk kecelakaan yang terjadi pada saat pergi dan pulang kerja, menuju dan dari tempat kerja melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui, dan penyakit akibat kerja. Kecelakaan kerja tertinggi terjadi pada saat pekerja bekerja pada jam kerja karena faktor kelelahan. Peringkat kedua risiko kecelakaan kerja terjadi pada lalu lintas.[1]
Jaminan sosial tenaga kerja menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan produktivitas kerja. Kemanfaatan jaminan sosial tenaga kerja pada hakikatnya bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat tenaga kerja. Dengan kemanfaatan dasar tersebut, pembiayaan dapat ditekan seminimal mungkin sehingga dapat dijangkau oleh setiap pengusaha dan tenaga kerja. Pengusaha dan tenaga kerja yang memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar dapat meningkatkan dasar tersebut melalui berbagai cara lainnya.[2]
Pasal 28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermanfaat. Artinya, jaminan sosial tersebut tidak hanya terbatas pada para pekerja yang bekerja secara formal di perusahaan, tetapi juga mencakup pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja yang bekerja di sektor informal.
Tenaga kerja sektor informal atau tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (LHK) adalah orang yang berusaha sendiri yang pada umumnya bekerja pada usaha-usaha ekonomi informal. Contoh tenaga kerja informal terdiri dari berbagai jenis profesi/ pekerjaan seperti tukang bangunan, tukang becak, ojek, bengkel bordir, tukang las, mekanik, penjahit, nelayan, tukang pangkas rambut, petani, supir, penambak, peternak, buruh dan buruh bongkar muat, dan profesi sejenis lainnya.
Pemerintah menilai perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja (TK LHK) merupakan hal sangat penting. Oleh karena itu, untuk pedoman penyelenggaraannya dikeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (TK LHK). Regulasi ini diharapkan mampu mendongkrak kepesertaan program jaminan sosial TK LHK dengan cakupan berbagai bidang usaha informal.
Sayangnya, kepesertaan program jaminan sosial bagi TK LHK belum bisa optimal karena masih banyak TK LHK yang berlum menjadi peserta program ini. Hal ini disebabkann karena masih kurangnya sosialisasi mengenai program TK LHK di seluruh kabupaten/kota di Indonesia, belum terorganisirnya sektor informal/TK LHK dalam wadah atau kelompok usaha, dan pendapatan sektor informal/TK LHK yang relatif rendah dan tidak kontinyu.[3]
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik bahwa sektor informal khususnya TK LHK mencapai 31,7 juta jiwa, namun yang menjadi peserta program jaminan sosial TK LHK sampai dengan akhir tahun 2012 baru sebanyak 809.289 orang atau sekitar 2,55% dari jumlah TK LHK.[4] Hal ini menunjukkan kepesertaan program jaminan sosial TK LHK masih dalam angka kecil yang memprihatinkan, sehingga TK LHK yang terlindungi juga hanya sebagian kecil dari sekian banyak TK LHK di seluruh Indonesia.
Tenaga kerja secara umum terbagi dua, yaitu tenaga kerja dalan sektor formal dan informal. Tenaga kerja informan dibedakan menjadi usaha perorangan (dalam hubungan kerja) dan usaha mandiri (di luar hubungan kerja). Program jaminan sosial TK LHK diperuntukan bagi sektor informal dan penekannya pada tenaga kerja dalam usaha mandiri di luar hubungan kerja, meskipun pada praktiknya pengertian TK LHK tidak hanya pada sektor informal yang di luar hubungan kerja, tetapi juga sektor informal dalam hubungan kerja. BPJS Ketenagakerjaan bersedia menerima pendaftaran tenaga kerja informal yang memiliki hubungan kerja, tetapi tetap dikategorikan sebagai TK LHK seperti pembantu rumah tangga, tukang kebun dan sejenisnya yang iuran preminya dibayarkan oleh majikan.
TK LHK adalah tenaga kerja yang bekerja/berusaha sendiri tanpa ada yang membayar upahnya. Apabila terjadi risiko kerja tidak ada yang melindungi TK LHK karena harus ditanggung oleh dirinya sendiri. Pemerintah bertanggung jawab memberikan perlindungan dan masa depan TK LHK. Oleh karena itu, untuk mempercepat kepesertaan program jaminan sosial bagi TK LHK dan sadar akan pentingnya program tersebut, maka pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Permenakertrans RI No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (TK LHK), kemudian secara berkelanjutan pemerintah berusaha melakukan sosialisasi program ini kepada TK LHK di seluruh Indonesia.
Tujuan pemerintah menyelenggarakan jaminan sosial bagi TK LHK adalah[5]:
1.      Memberikan perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar hubungan kerja pada saat tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan kerja, hari tua dan meninggal dunia.
2.      Memperluas cakupan kepesertaan program BPJS Ketenagakerjaan.
TK LHK dapat mengikuti seluruh program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kecelakaan Kerja. TK LHK juga dapat mengikuti program Jamsostek secara bertahap dengan memilih program sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta. TK LHK dapat mendaftar sendiri langsung ke BPJS Ketenagakerjaanatau mendaftar melalui wadah/kelompok yang telah melakukan Ikatan Kerja Sama (IKS) dengan BPJS Ketenagakerjaan.
Program jaminan sosial bagi TK LHK memiliki karakteristik sebagai berikut[6]:
1.      Risiko kerja tinggi, sementara kemampuan pembayaran rendah;
2.      Kepesertaan sukarela;
3.      Program Jamsostek bertahap;
4.      Dasar iuran dari penghasilan yang disetarakan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) / Upah Minimum Kabupaten (UMK) daerah setempat.
Iuran program yang diikuti ditanggung sepenuhnya oleh peserta, kecuali apabila dibayarkan oleh pihak ketiga. Iuran program jaminan sosial bagi TK LHK disesuaikan dengan besarnya penghasilan sebulan atau sekurang-kurangnya berdasarkan UMP / UMK yang berlaku dalam suatu daerah dengan persentase sebagai berikut :
1.      Jaminan Kecelakaan Kerja, besar iuran 1% dari penghasilan/UMP/UMK;
2.      Jaminan Kematian, besar iuran 0,3% dari penghasilan/UMP/UMK;
3.      Jaminan Hari Tua, besar iuan 2% dari penghasilan/UMP/UMK.
Iuran tersebut berbeda dengan program jaminan sosial bagi tenaga kerja dalam hubungan kerja. Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi pekerja formal dibagi dalam lima kelompok, yaitu kelompok I sebesar 0,24% dari upah sebulan, kelompok II sebesar 0,54% dari upah sebulan, kelompok III sebesar 0,89% dari upah sebulan, kelompok IV sebesar 1,27% dari upah sebulan dan kelompok V sebesar 1,74% dari upah sebulan. Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja seluruhnya ditanggung oleh pemberi kerja (pengusaha). Adapun iuran untuk Jaminan Kematian sebesar 0,30% dari upah sebulan yang dibayar oleh pemberi kerja, serta iuran Jaminan Hari Tua sebesar 5,7% dari upah sebulan dengan pembagian 3,7% dibayar oleh pemberi kerja dan 2% oleh pekerja.
Manfaat pelayanan program jaminan sosial TK LHK sama dengan manfaat progam jaminan sosial tenaga kerja formal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993, manfaat program jaminan sosial tenaga kerja meliputi:
1.       Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), terdiri dari biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja, biaya perawatan medis, biaya rehabilitasi, penggantian upah Sementara Tidak Mampu Bekerja (STMB), santunan cacat tetap sebagian, santunan cacat total tetap, santunan kematian, biaya pemakaman, santunan berkala bagi yang meninggal dunia dan cacat total tetap;
2.       Jaminan Kematian (JK), terdiri dari biaya pemakaman dan santunan berkala;
3.       Jaminan Hari Tua (JHT), terdiri dari keseluruhan iuran yang telah disetor, beserta hasil pengembangannya
Pemerintah dalam melakukan percepatan kepesertaan program jaminan sosial TK LHK menempuh dua cara, yaitu (1) sosialisasi program jaminan sosial TK LHK, dan (2) pilot project melalui pemberian subsidi. Maksud dari pemberian subsidi adalah meningkatkan cakupan kepesertaan jaminan sosial TK LHK di berbagai bidang usaha. Adapun tujuannya sebagai stimulan dalam rangka peningkatan jumlah kepesertaan dan perlindungan bagi TK LHK.[7]
Pemberian subsidi iuaran diutamakan di wilayah yang memiliki potensi kepesertaan program jaminan sosial TK LHK. Pemberian subsidi oleh pemerintah di samping memberikan perlindungan kerja juga mengurangi kemiskinan karena apabila TK LHK tersebut mengalami risiko seperti kecelakaan, sakit atau kematian sehingga tidak ada yang mencari nafkah bagi keluarganya, maka keluarga akan mendapatkan manfaat dari program jaminan sosial tersebut.
Pemberian subsidi iuran program jaminan sosial TK LHK berupa pembayaran iuran 8 (delapan) bulan awal kepesertaan. Subsidi tersebut bukan hanya sekedar memberikan bantuan sosial, namun lebih dari itu bersifat sebagai perangsang (stimulan) agar TK LHK bersedia menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan secara sukarela, sehingga di akhir program mereka dapat melanjutkan iuran secara sukarela.
Keberhasilan pelaksanaan program jaminan sosial TK LHK bukan hanya ditentukan oleh keberhasilan dalam pemberian subsidi iuran, namun yang sangat penting adalah jumlah peserta yang dapat melanjutkan program jaminan sosial TK LHK secara mandiri dan sukarela. Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan bahwa pada awalnya TK LHK diberikan subsidi lajang dan setelah merasakan manfaatnya, TK LHK tersebut mengikutsertakan keluarganya dalam program jaminan sosial, sehingga kepesertaan jaminan sosial TK LHK terus meningkat.
Pelayanan yang didapatkan oleh peserta TK LHK sama dengan peserta jaminan sosial ketenagakerjaan dalam hubungan kerja, meskipun dengan iuran yang lebih murah. Mereka juga berhak mendapatkan fasilitas pelayanan, santunan dan bentuk imbal balik lainnya dari BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana hak yang diperoleh oleh peserta jaminan sosial dalam hubungan kerja.



[1] Hardi Yuliwan, 2013, Kesiapan BPJS Ketenagakerjaan dalam Melaksanakan Program Sistem Jaminan Sosial Nasional, disampaikan pada acara Sosialisasi BPJS bagi Pekerja, SP/SB, Pengusaha dan Aparat Pemerintah, Semarang, 22 Oktober 2013.
[2] Myra M. Hanartani, dkk., 2009, Pengantar Hukum Perburuhan, Dirjen PHI dan Jamsostek, Jakarta, hal. 94.
[3] Payaman Simanjuntak, 2013, Isu Ketenagakerjaan yang Mendesak, Pustaka Pena, Jakarta, hal. 98.
[4] Suwarto, 2014, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Hasta Mitra, Jakarta, hal. 57.
[5] Sektor Informal, http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/i.php?mid=3&id=58, diakses tanggal 11 Desember 2014.
[6] Katerin Saptarina, 2013, Kepesertaan Program Jamsostek Bagi Tenaga Kerja Luar Hubungan Kerja (TK LHK), makalah disampaikan pada Sosialisasi Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Kemenakertrans RI Bagi Tim KF Se-Provinsi Jateng & DIY, Semarang, 7 Maret 2013.
[7] Jamhari, 2013, Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Luar Hubungan Kerja, Gerbang Ilmu, Bekasi, hal. 109.

1 komentar: