Pembangunan
nasional yang terus berlangsung selama ini telah memperluas kesempatan kerja
dan memberikan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan hidup bagi pekerja dan
keluarganya. Namun kemampuan bekerja dan penghasilan dari setiap pekerja dapat
berkurang atau hilang karena berbagai risiko yang dialami pekerja seperti
kecelakaan, cacat, sakit, hari tua dan meninggal dunia. Risiko ini juga akan
berpengaruh pada keadaan sosial ekonomi keluarga dari pekerja itu sendiri.
Dalam rangka menanggulangi risiko-risiko tersebut, penting bagi pekerja untuk
melindungi dirinya melalui jaminan sosial tenaga kerja.
Risiko
kecelakaan kerja misalnya, merupakan risiko yang berhubungan dengan kerja,
termasuk kecelakaan yang terjadi pada saat pergi dan pulang kerja, menuju dan
dari tempat kerja melalui jalan yang biasa atau wajar dilalui, dan penyakit
akibat kerja. Kecelakaan kerja tertinggi terjadi pada saat pekerja bekerja pada
jam kerja karena faktor kelelahan. Peringkat kedua risiko kecelakaan kerja
terjadi pada lalu lintas.[1]
Jaminan
sosial tenaga kerja menanggulangi risiko-risiko kerja sekaligus akan
menciptakan ketenangan kerja yang pada gilirannya akan membantu meningkatkan
produktivitas kerja. Kemanfaatan jaminan sosial tenaga kerja pada hakikatnya
bersifat dasar untuk menjaga harkat dan martabat tenaga kerja. Dengan
kemanfaatan dasar tersebut, pembiayaan dapat ditekan seminimal mungkin sehingga
dapat dijangkau oleh setiap pengusaha dan tenaga kerja. Pengusaha dan tenaga
kerja yang memiliki kemampuan keuangan yang lebih besar dapat meningkatkan
dasar tersebut melalui berbagai cara lainnya.[2]
Pasal
28 H ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur bahwa setiap orang berhak atas
jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai
manusia yang bermanfaat. Artinya, jaminan sosial tersebut tidak hanya terbatas
pada para pekerja yang bekerja secara formal di perusahaan, tetapi juga
mencakup pekerja di luar hubungan kerja atau pekerja yang bekerja di sektor informal.
Tenaga
kerja sektor informal atau tenaga kerja
yang melakukan pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (LHK) adalah orang yang
berusaha sendiri yang pada umumnya bekerja pada usaha-usaha ekonomi informal. Contoh
tenaga kerja informal terdiri dari berbagai jenis profesi/ pekerjaan seperti
tukang bangunan, tukang becak, ojek, bengkel bordir, tukang las, mekanik,
penjahit, nelayan, tukang pangkas rambut, petani, supir, penambak, peternak,
buruh dan buruh bongkar muat, dan profesi sejenis lainnya.
Pemerintah
menilai perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja di luar hubungan kerja
(TK LHK) merupakan hal sangat penting. Oleh karena itu, untuk pedoman
penyelenggaraannya dikeluarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi
RI No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi
Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (TK LHK). Regulasi
ini diharapkan mampu mendongkrak kepesertaan program jaminan sosial TK LHK
dengan cakupan berbagai bidang usaha informal.
Sayangnya, kepesertaan program
jaminan sosial bagi TK LHK belum bisa optimal karena masih banyak TK LHK yang
berlum menjadi peserta program ini. Hal ini disebabkann karena masih kurangnya
sosialisasi mengenai program TK LHK di seluruh kabupaten/kota di Indonesia,
belum terorganisirnya sektor informal/TK LHK dalam wadah atau kelompok usaha,
dan pendapatan sektor informal/TK LHK yang relatif rendah dan tidak kontinyu.[3]
Berdasarkan data dari Badan Pusat
Statistik bahwa sektor informal khususnya TK LHK mencapai 31,7 juta jiwa, namun
yang menjadi peserta program jaminan sosial TK LHK sampai dengan akhir tahun
2012 baru sebanyak 809.289 orang atau sekitar 2,55% dari jumlah TK LHK.[4]
Hal ini menunjukkan kepesertaan program jaminan sosial TK LHK masih dalam angka
kecil yang memprihatinkan, sehingga TK LHK yang terlindungi juga hanya sebagian
kecil dari sekian banyak TK LHK di seluruh Indonesia.
Tenaga
kerja secara umum terbagi dua, yaitu tenaga kerja dalan sektor formal dan
informal. Tenaga kerja informan dibedakan menjadi usaha perorangan (dalam
hubungan kerja) dan usaha mandiri (di luar hubungan kerja). Program jaminan
sosial TK LHK diperuntukan bagi sektor informal dan penekannya pada tenaga
kerja dalam usaha mandiri di luar hubungan kerja, meskipun pada praktiknya
pengertian TK LHK tidak hanya pada sektor informal yang di luar hubungan kerja,
tetapi juga sektor informal dalam hubungan kerja. BPJS Ketenagakerjaan bersedia
menerima pendaftaran tenaga kerja informal yang memiliki hubungan kerja, tetapi
tetap dikategorikan sebagai TK LHK seperti pembantu rumah tangga, tukang kebun
dan sejenisnya yang iuran preminya dibayarkan oleh majikan.
TK
LHK adalah tenaga kerja yang bekerja/berusaha sendiri tanpa ada yang membayar
upahnya. Apabila terjadi risiko kerja tidak ada yang melindungi TK LHK karena
harus ditanggung oleh dirinya sendiri. Pemerintah bertanggung jawab memberikan
perlindungan dan masa depan TK LHK. Oleh karena itu, untuk mempercepat
kepesertaan program jaminan sosial bagi TK LHK dan sadar akan pentingnya
program tersebut, maka pemerintah mengeluarkan regulasi berupa Permenakertrans
RI No. 24/MEN/VI/2006 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Jamsostek Bagi
Tenaga Kerja yang Melakukan Pekerjaan di Luar Hubungan Kerja (TK LHK), kemudian
secara berkelanjutan pemerintah berusaha melakukan sosialisasi program ini kepada
TK LHK di seluruh Indonesia.
Tujuan pemerintah
menyelenggarakan jaminan sosial bagi TK LHK adalah[5]:
1. Memberikan
perlindungan jaminan sosial bagi tenaga kerja yang melakukan pekerjaan di luar
hubungan kerja pada saat tenaga kerja tersebut kehilangan sebagian atau seluruh
penghasilannya sebagai akibat terjadinya risiko-risiko antara lain kecelakaan
kerja, hari tua dan meninggal dunia.
2. Memperluas
cakupan kepesertaan program BPJS Ketenagakerjaan.
TK
LHK dapat mengikuti seluruh program jaminan sosial tenaga kerja yang meliputi
Jaminan Kematian, Jaminan Hari Tua dan Jaminan Kecelakaan Kerja. TK LHK juga dapat mengikuti program Jamsostek secara bertahap
dengan memilih program sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan peserta.
TK LHK dapat mendaftar sendiri langsung ke BPJS
Ketenagakerjaanatau mendaftar melalui wadah/kelompok yang telah melakukan
Ikatan Kerja Sama (IKS) dengan BPJS Ketenagakerjaan.
1. Risiko
kerja tinggi, sementara kemampuan pembayaran rendah;
2. Kepesertaan
sukarela;
3. Program
Jamsostek bertahap;
4. Dasar
iuran dari penghasilan yang disetarakan dengan Upah Minimum Provinsi (UMP) /
Upah Minimum Kabupaten (UMK) daerah setempat.
Iuran program yang
diikuti ditanggung sepenuhnya oleh peserta, kecuali apabila dibayarkan oleh
pihak ketiga. Iuran program jaminan sosial bagi TK LHK disesuaikan dengan besarnya
penghasilan sebulan atau sekurang-kurangnya berdasarkan UMP / UMK yang berlaku
dalam suatu daerah dengan persentase sebagai berikut :
1. Jaminan
Kecelakaan Kerja, besar iuran 1% dari penghasilan/UMP/UMK;
2. Jaminan
Kematian, besar iuran 0,3% dari penghasilan/UMP/UMK;
3. Jaminan
Hari Tua, besar iuan 2% dari penghasilan/UMP/UMK.
Iuran
tersebut berbeda dengan program jaminan sosial bagi tenaga kerja dalam hubungan
kerja. Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja bagi pekerja formal dibagi dalam lima
kelompok, yaitu kelompok I sebesar 0,24% dari upah sebulan, kelompok II sebesar
0,54% dari upah sebulan, kelompok III sebesar 0,89% dari upah sebulan, kelompok
IV sebesar 1,27% dari upah sebulan dan kelompok V sebesar 1,74% dari upah
sebulan. Iuran Jaminan Kecelakaan Kerja seluruhnya ditanggung oleh pemberi
kerja (pengusaha). Adapun iuran untuk Jaminan Kematian sebesar 0,30% dari upah
sebulan yang dibayar oleh pemberi kerja, serta iuran Jaminan Hari Tua sebesar
5,7% dari upah sebulan dengan pembagian 3,7% dibayar oleh pemberi kerja dan 2%
oleh pekerja.
Manfaat
pelayanan program jaminan sosial TK LHK sama dengan manfaat progam jaminan
sosial tenaga kerja formal. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993, manfaat program jaminan sosial tenaga kerja
meliputi:
1.
Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK),
terdiri dari biaya pengangkutan tenaga kerja yang mengalami kecelakaan kerja,
biaya perawatan medis, biaya rehabilitasi, penggantian upah Sementara Tidak
Mampu Bekerja (STMB), santunan cacat tetap sebagian, santunan cacat total
tetap, santunan kematian, biaya pemakaman, santunan berkala bagi yang meninggal
dunia dan cacat total tetap;
2.
Jaminan Kematian (JK), terdiri dari
biaya pemakaman dan santunan berkala;
3.
Jaminan Hari Tua (JHT), terdiri dari
keseluruhan iuran yang telah disetor, beserta hasil pengembangannya
Pemerintah
dalam melakukan percepatan kepesertaan program jaminan sosial TK LHK menempuh
dua cara, yaitu (1) sosialisasi program jaminan sosial TK LHK, dan (2) pilot
project melalui pemberian subsidi. Maksud dari pemberian subsidi adalah
meningkatkan cakupan kepesertaan jaminan sosial TK LHK di berbagai bidang
usaha. Adapun tujuannya sebagai stimulan dalam rangka peningkatan jumlah
kepesertaan dan perlindungan bagi TK LHK.[7]
Pemberian
subsidi iuaran diutamakan di wilayah yang memiliki potensi kepesertaan program
jaminan sosial TK LHK. Pemberian subsidi oleh pemerintah di samping memberikan
perlindungan kerja juga mengurangi kemiskinan karena apabila TK LHK tersebut
mengalami risiko seperti kecelakaan, sakit atau kematian sehingga tidak ada
yang mencari nafkah bagi keluarganya, maka keluarga akan mendapatkan manfaat
dari program jaminan sosial tersebut.
Pemberian
subsidi iuran program jaminan sosial TK LHK berupa pembayaran iuran 8 (delapan)
bulan awal kepesertaan. Subsidi tersebut bukan hanya sekedar memberikan bantuan
sosial, namun lebih dari itu bersifat sebagai perangsang (stimulan) agar TK LHK
bersedia menjadi peserta program jaminan sosial ketenagakerjaan secara
sukarela, sehingga di akhir program mereka dapat melanjutkan iuran secara
sukarela.
Keberhasilan
pelaksanaan program jaminan sosial TK LHK bukan hanya ditentukan oleh
keberhasilan dalam pemberian subsidi iuran, namun yang sangat penting adalah
jumlah peserta yang dapat melanjutkan program jaminan sosial TK LHK secara
mandiri dan sukarela. Hasil monitoring dan evaluasi menunjukkan bahwa pada
awalnya TK LHK diberikan subsidi lajang dan setelah merasakan manfaatnya, TK
LHK tersebut mengikutsertakan keluarganya dalam program jaminan sosial, sehingga
kepesertaan jaminan sosial TK LHK terus meningkat.
Pelayanan
yang didapatkan oleh peserta TK LHK sama dengan peserta jaminan sosial
ketenagakerjaan dalam hubungan kerja, meskipun dengan iuran yang lebih murah.
Mereka juga berhak mendapatkan fasilitas pelayanan, santunan dan bentuk imbal
balik lainnya dari BPJS Ketenagakerjaan sebagaimana hak yang diperoleh oleh
peserta jaminan sosial dalam hubungan kerja.
[1] Hardi Yuliwan, 2013, Kesiapan BPJS Ketenagakerjaan dalam
Melaksanakan Program Sistem Jaminan Sosial Nasional, disampaikan pada acara
Sosialisasi BPJS bagi Pekerja, SP/SB, Pengusaha dan Aparat Pemerintah,
Semarang, 22 Oktober 2013.
[2] Myra M. Hanartani, dkk., 2009, Pengantar Hukum Perburuhan, Dirjen PHI
dan Jamsostek, Jakarta, hal. 94.
[3] Payaman Simanjuntak, 2013, Isu Ketenagakerjaan yang Mendesak,
Pustaka Pena, Jakarta, hal. 98.
[4] Suwarto, 2014, Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, Hasta
Mitra, Jakarta, hal. 57.
[5] Sektor Informal, http://www.bpjsketenagakerjaan.go.id/content/i.php?mid=3&id=58,
diakses tanggal 11 Desember 2014.
[6] Katerin Saptarina, 2013, Kepesertaan Program Jamsostek Bagi Tenaga
Kerja Luar Hubungan Kerja (TK LHK), makalah disampaikan pada Sosialisasi
Peraturan Perundangan Ketenagakerjaan Kemenakertrans RI Bagi Tim KF Se-Provinsi
Jateng & DIY, Semarang, 7 Maret 2013.
[7] Jamhari, 2013, Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Luar Hubungan
Kerja, Gerbang Ilmu, Bekasi, hal. 109.
Saya gojek, berarti saya bisa daftar donk...
BalasHapus