Selasa, 26 Maret 2013

PERATURAN PERUSAHAAN

PENGERTIAN
Istilah peraturan perusahaan ada yang menyebut dengan peraturan kerja perusahaan, peraturan majikan, reglement perusahaan, peraturankaryawan, maupun peraturan kepegawaian. Adapun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan memilih untuk menggunakan istilah “Peraturan Perusahaan”.
Jauh sebelum adanya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) atau Burgerlijke Wetboek (BW) telah mengatur mengenai Peraturan Perusahaan, yaitu pada Pasal 1601 huruf j, k, l dan m. Namun KUHPerdata sendiri tidak secara tegas merumuskan mengenai apa yang dimaksud dengan Peraturan Perusahaan.
Definisi Peraturan Perusahaan untuk pertama kalinya dirumuskan dalam Permenakertranskop No. PER.02/MEN/1976. Menurut Permenakertranskop tersebut, yang dimaksud dengan Peraturan Perusahaan adalah suatu peraturan yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan mengenai syarat-syarat kerja dan tata tertib yang berlaku di perusahaan yang bersangkutan.
Dua tahun kemudian, ketentuan yang mengatur mengenai Peraturan Perusahaan diperbarui melalui Permenakertranskop No. PER.02/MEN/1978. Perubahan beberapa ketentuan mengenai Peraturan Perusahaan dalam Permenakertranskop ini tidak disertai dengan perubahan pendefinisian Peraturan Perusahaan, sehingga definisi Peraturan Perusahaan masih sama dengan rumusan sebelumnya.
Bagaimana dengan pengertian Peraturan Perusahaan menurut Undang-Undang Ketenagakerjaan yang belaku saat ini? Menurut Pasal 1 Angka 24 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, menyebutkan bahwa Peraturan Perusahaan adalah peraturan yang dibuat secara tertulis oleh pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja dan tata tertib perusahaan.

Dasar hukum pembuatan Peraturan Perusahaan adalah sebagai berikut :
1.    Pasal 108 – 115 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
2.    Undang-Undang Nomor  21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
3.   Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
4. Kepmenakertrans RI Nomor : KEP.48/MEN/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.
5. Permenakertrans RI Nomor : PER-08/MEN/III/2006 tentang Perubahan Keputuran Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor : KEP.48/MEN/2004 tentang Tata Cara Pembuatan dan Pengesahan Peraturan Perusahaan serta Pembuatan dan Pendaftaran Perjanjian Kerja Bersama.

SEJARAH PERATURAN PERUSAHAAN
Semula peraturan perusahaan diatur dalam Pasal 1601 huruf j sampai dengan Pasal 1601 huruf m Buku III KUH Perdata. Berdasarkan pasal tersebut Peraturan Perusahaan hanya memuat syarat-syarat kerja, tidak termasuk tata-tertib perusahaan. Peraturan perusahaan tidak diwajibkan kepada perusahaan. Buruh terikat dengan peraturan perusahaan ini jika dalam pembuatan perjanjian kerja menyetujui secara tertulis mengenai peraturan perusahaan.
Pada tahun 1976, dikeluarkan Peratuan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER-02/1976, tanggal 11 Juli 1976 tentang Peraturan Perusahaan. Yang dimaksud dengan Peraturan Perusahaan dalam Peraturan Menteri ini adalah satu peraturan yang dibuat oleh pimpinan perusahaan yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja yang berlaku pada perusahaan yang bersangkutan.
Selain ketentuan tentang syarat-syarat kerja, Peraturan Perusahaan dapat juga memuat ketentuan-ketentuan mengenai tata tertib perusahaan. Dengan demikian Peraturan Perusahaan ini tidak hanya memuat syarat-syarat kerja saja, namun juga memuat ketentuan tentang tata tertib. Berdasarkan Peraturan menteri ini, Peraturan Perusahaan wajib dibuat oleh perusahaan yang mempekerjakan 50 (lima puluh) orang buruh atau lebih.
Kemudian Peraturan Menteri tahun 1976 dicabut dan diganti dengan Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER-02/MEN/1978 tentang Peraturan Perusahaan dan Perundingan Pembuatan Perjanjian Perburuhan. Menurut peraturan menteri ini Peraturan Perusahaan ialah Peraturan yang dibuat secara tertulis yang memuat ketentuan-ketentuan tentang syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
Peraturan Perusahaan menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi Nomor: PER-02/MEN/1978 diwajibkan kepada Perusahaan yang memiliki buruh/ karyawan minimal 25 (dua puluh lima) orang atau lebih.
Setelah disahkannya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Peraturan Perusahaan diwajibkan kepada perusahaan yang memiliki pekerja/buruh minimal 10 (sepuluh) orang. Dengan adanya Undang-Undang tersebut, maka Peraturan Menteri tersebut diatas secara otomatis tidak berlaku kembali.

Bila kita cermati, sebenarnya pengusaha dan pekerja/buruh memiliki kepentingan yang sama yaitu memajukan perusahaan. Perusahaan yang maju akan memberikan keuntungan yang besar bagi pengusaha. Sedangkan bagi pekerja/buruh, dengan semakin majunya perusahaan, diharapkan kesejateraan pekerja/buruh dan keluarganya akan semakin meningkat. Peningkatan kesejahteraan akan menciptakan ketenangan dan ketenteraman kerja dalam proses produksi barang atau jasa, sehingga turut serta meningkatkan produktivitas kerja bagi setiap pekerja/buruh.
Keadaan yang demikian tentunya akan mampu tercapai manakala masing-masing pihak, baik pengusaha maupun pekerja/buruh mengetahui secara pasti apa yang menjadi hak dan kewajibannya demi terwujudnya dan terpeliharanya keselarasan antara peningkatan produksi, produktivitas dan kesejahteraan. Adapun sarana yang terbaik untuk mencapai tujuan tersebut adalah pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) antara perusahaan dan Serikat Pekerja/Serikat Buruh (SP/SB). Mengingat belum di semua perusahaan telah terbentuk SP/SB, sehingga tidak bisa membuat PKB, maka di perusahaan tersebut perlu dibuat Peraturan Perusahaan yang memuat syarat-syarat kerja serta tata tertib perusahaan.
Peraturan Perusahaan merupakan tindak lanjut dari perjanjian kerja, karena pada prinsipnya perjanjian kerja hanya memuat mengenai syarat-syarat kerja yang sederhana, misalnya mengenai upahnya, pekerjaannya, dan pembagian lain-lain (Emolumenten). Jadi dengan keadaan tersebut maka secara otomatis Peraturan Perusahaan memuat hal-hal yang lebih lengkap mengenai syarat-syarat kerja.
Tujuan utama pembuatan Peraturan Perusahaan adalah mewujudkan kepastian syarat-syarat kerja di perusahaan, di mana syarat-syarat kerja tersebut tentunya tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, atau bahkan lebih baik darinya.untuk melindungi pekerja/buruh dari syarat-syarat kerja yang tidak baik atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, maka Peraturan Perusahaan yang telah dibuat wajib disahkan oleh instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat.
Adapun manfaat Peraturan Perusahaan baik bagi pengusaha maupun pekerja/buruh antara lain sebagai berikut :
1.  Sebagai pedoman hak dan kewajiban bagi pengusaha dan pekerja/buruh, sehingga masing-masing pihak akan mampu memahami dan melaksanakan hak dan kewajibannya masing-masing.
2. Sebagai sarana untuk mencipatakan ketenangan bekerja dan kelangsungan usaha. Dengan adanya Peraturan Perusahaan, bila terjadi suatu perselisihan, maka pengusaha dan pekerja/buruh dapat segera menyelesaikannya dengan mendasarkan kepada Peraturan Perusahaan yang berlaku. Hal yang demikian diharapkan dapat mengurangi terjadinya perselisihan hubungan industrial yang berkembang karena tidak mampu diselesaikan secara bipartit.
3.  Sebagai sumber data bagi pengusaha untuk menyusun rencana dalam menetapkan labour cost yang perlu dicadangkan atau disesuaikan dengan masa berlakunya Peraturan Perusahaan.
4. Sebagai tahap permulaan terwujudnya PKB di perusahaan. Di perusahaan yang telah ada SP/SB, pengusaha wajib memenuhi kehendak SP/SB yang meminta merundingkan pembuatan PKB, jika SP/SB tersebut mengajukan permintaan secara tertulis, meskipun masa berlaku Peraturan Perusahaan belum habis. PKB yang telah disepakati antara pengusaha dengan SP/SB dapat menggantikan kedudukan Peraturan Perusahaan. Pembuatan Peraturan Perusahaan merupakan tujuan antara yang bersifat anvullend, selama PKB belum dapat diwujudkan di perusahaan karena tidak adanya SP/SB.
Tidak semua perusahaan dikenai kewajiban membuat Peraturan Perusahaan. Hanya perusahaan-perusahaan tertentu yang memenuhi syarat yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. Jadi, tidak semua perusahaan karena ada perusahaan yang tidak memenuhi syarat wajib membuat Peraturan Perusahaan.

Berdasarkan Pasal 108 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, kriteria perusahaan yang wajib membuat Peraturan Perusahaan adalah sebagai berikut :

1.    Mempekerjakan pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang.
Kriteria pertama perusahaan yang wajib memiliki Peraturan Perusahaan adalah memiliki pekerja/buruh sekurang-kurangnya 10 (sepuluh) orang. Jumlah tersebut menjadi penentu apakah sebuah perusahaan telah dikenai kewajiban membuat Peraturan Perusahaan atau tidak, tanpa perlu memperhatikan faktor-faktor lain semisal jumlah modal, omzet, bonafid atau tidak, dan lain sebagainya. Asalkan jumlah tenaga kerja telah mencapai minimal 10 (sepuluh) orang, maka menurut undang-undang, perusahaan tersebut wajib memiliki Peraturan Perusahaan.

2.    Perusahaan tersebut tidak memiliki Perjanjian Kerja Bersama (PKB).
Perjanjian Kerja Bersama (PKB) menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan didefinisikan sebagai perjanjian yang merupakan hasil perundingan antara SP/SB atau beberapa SP/SB yang tercatat pada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan dengan pengusaha, atau beberapa pengusaha atau perkumpulan pengusaha yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban kedua belah pihak.

URGENSI MEREVISI PERMENAKER THR


Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi pekerja/buruh seolah dianggap seperti gaji ke-13. Ia demikian penting, sehingga kehadirannya selalu dinantikan dan ketidakberadaannya dapat menimbulkan masalah dan konflik. Mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing, maka sudah sewajarnya jika pemerintah mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR bagi pekerja/buruh yang hendak merayakan hari rayanya.
Pemerintah, dalam rangka menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keseragamaan mengenai pemberian THR, telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor : PER-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Sayangnya, dengan adanya perubahan Undang-undang Ketenagakerjaan, Permenaker THR tidak turut serta mengalami penyesuaian. Permenaker 04/1994 menginduk pada UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Padahal UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 192 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Secara yuridis formil, meskipun UU No. 14 Tahun 1969 sudah tidak berlaku, namun UU No. 13 Tahun 2003 memberikan ruang bagi pemberlakuan Permenaker 04/1994. Pada Ketentuan Peralihan, Pasal 191, menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003.
Imbasnya, Permenaker 04/1994 masih tetap berlaku dan harus dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan berbagai persoalan, mengingat landasan yuridis dan substansi dari Permenaker tersebut belum disesuaikan dengan UU No. 13 Tahun 2003. Menilik urgensi THR sebagai tunjangan yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja, maka seharusnya aturan yang menjadi rujukan pelaksanaan pembayaran THR ditinjau kembali. Kelemahan-kelemahan yang ada sebaiknya segera diperbaiki, sehingga tidak memberikan celah bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya, dan tidak pula menimbulkan kerugian bagi pengusaha maupun pekerja.
Ditinjau dari substansi Permenaker 04/1994, setidaknya terdapat lima point yang perlu mendapat perhatian pemerintah untuk sesegera mungkin diadakan revisi. Pertama, ketentuan 1 (satu) bulan upah. Ketentuan 1 (satu) bulan upah dijadikan sebagai besaran THR untuk pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih. Sedangkan bagi pekerja dengan masa kerja 3 – 12 bulan, dihitung secara proporsional, dengan menghitung masa kerja dibagi 12 bulan dikalikan 1 (satu) bulan upah. Persoalannya adalah, Permenaker 04
/1994 tidak menyebutkan bahwa jika upah yang diterima pekerja di bawah upah minimum, maka apakah upahnya bisa menjadi dasar perhitungan THR? Ataukah kembali kepada upah minimum?
Pasal 90 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Itu artinya, dasar perhitungan 1 (satu) bulan upah juga harus dinyatakan minimal sesuai dengan upah minimum, atau tidak boleh kurang darinya. Namun pada kenyataannya, masih banyak pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, kemudian menjadikan upahnya sebagai dasar perhitungan THR.
Kedua, penyimpangan besarnya jumlah THR. Permenaker 04/1994 memberikan kelonggaran bagi pengusaha yang tidak mampu membayar THR sesuai Permenaker tersebut, dapat mengajukan permohonan penyimpangan besarnya jumlah THR. Prosedur dan persyaratan penyimpangan THR kemudian diatur melalui SE Dirjen Binawas No.: B.724/BW/1994. Sejalan dengan perubahan UU Ketenagakerjaan, prosedur yang diatur di dalam SE tersebut tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada, sehingga akan sulit untuk dilaksanakan.
Ketiga, penyimpangan waktu pembayaran THR. Menurut Pasal 4 ayat (2) Permenaker 04/1994, pembayaran THR selambat-lambatnya H-7 dari hari raya. Pada prakteknya, banyak pengusaha yang menentukan secara sepihak waktu pembayaran THR mendekati hari raya, H-2 atau H-1. Permenaker 04/1994 tidak mengatur bagaimana seharusnya jika hal demikian terjadi. Mungkin solusi yang dapat diambil adalah dengan membuat kesepakatan atau perjanjian bersama antara pengusaha dengan wakil pekerja/Serikat Pekerja terkait masalah waktu pembayaran THR. Namun demikian, hal ini juga harus secara tegas tertulis di dalam peraturan yang menjadi payung hukum dari THR.
Keempat, tidak mengakomodir pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang habis masa kerjanya terhitung waktu 30 hari sebelum hari raya. Besarnya upah dan pembayaran lain-lain bagi pekerja memang ditentukan secara jelas dalam PKWT-nya. Namun, jika pemerintah mau bersikap adil, di mana THR merupakan tunjangan yang wajib dibayar oleh pengusaha, maka seharusnya pekerja PKWT yang berakhir hubungan kerjanya di dalam kurun waktu 30 hari sebelum hari raya berhak atas THR. Bukankah mereka juga akan merayakan hari raya? Akan tetapi, pemikiran seperti nampaknya belum menjadi perhatian serius dari pemerintah.
          Kelima, sanksi bagi pengusaha yang melanggar. Permenaker 04/1994 merunjuk ketentuan Pasal 17 UU No. 14 Tahun 1969, dalam hal terjadi pelanggaran pengusaha tidak membayar THR atau membayar tidak sesuai dengan waktunya. Karena UU No. 14 Tahun 1969 telah dinyatakan tidak berlaku, maka terjadi kekosongan hukum. Artinya, meskipun THR diwajibkan, tetapi tidak ada sanksi bagi pengusaha yang melanggarnya.
Menyikapi berbagai kelemahan Permenaker 04/1994 tersebut, seharusnya pemerintah melalui Kemenakertrans  bertindak cepat dan bijaksana mengambil langkah yang tepat guna perbaikan produk hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada. Jangan sampai hanya karena adanya sekian kelemahan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, akan mengakibatkan adanya konflik atau perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pada gilirannya, pengusaha dan pekerja/buruh yang akan menjadi korban, serta cita-cita mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, serasi dan berkeadilan hanya akan menjadi angan-angan belaka.