Selasa, 09 Juni 2015

WAN PRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM



Perkembangan hukum dewasa ini semakin dinamis dan kompleks. Hal itu berlaku pula bagi perkembangan hukum perdata, di mana termasuk di dalamnya adalah hukum perikatan. Perikatan sendiri oleh Subekti didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan yang memberi hak pada satu pihak untuk menuntut sesuatu dari pihak lainnya, dan lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.[1]
Berbagai macam bentuk perikatan mewarnai kontrak bisnis antara individu atau badan hukum dengan individu atau badan hukum lainnya. Keadaan hukum yang lahir dari adanya perikatan juga turut berkembang dinamis mengikuti kedinamisan perkembangan hukum perikatan.
Hukum perikatan merupakan konsep hukum yang khas dari sistem hukum civil law, seperti yang dianut di Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol dan Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia, perikatan ditempatkan dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang perikatan (van verbitenis). Buku III tersebut mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian (kontrak) dan perikatan yang lahir karena undang-undang.
Perikatan, baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang, akan melahirkan konsekuensi berupa prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perikatan sebagai salah satu dari unsur perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perikatan, maka para pihak yang mengadakan perikatan wajib melaksanakan kewajiban yang timbul, baik karena perjanjian, undang-undang maupun kepatutan atau kebiasaan.
Hal yang cukup sering terjadi dalam prakteknya, ada kalanya salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasi yang menjadi kewajibannya. Tidak terpenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan, yaitu karena kesalahan baik sengaja atau lalai, atau karena sesuatu yang terjadi di luar kemampuan pihak yang hendak memenuhi prestasi.
Prestasi yang tidak dipenuhi akan berakibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, tergantung dari sumber perikatan, apakah berasal dari perjanjian atau dari selainnya (undang-undang, kepatutan atau kebiasaan). Antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum seringkali bertumpang tindih di antara keduanya.
Terjadinya tumpang tindih tersebut antara lain disebabkan oleh sistem hukum perikatan yang dianut oleh civil law. Hukup perikatan dalam sistem civil law merupakan satu kesatuan yang mencakup kontrak dan perbuatan melawan hukum. Dalam praktiknya, ada kasus yang seharusnya dikualifikasikan sebagai wanprestasi, tetapi ada yang mengkualifikasikan kasus tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, dan ada pula yang sebaliknya. Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sehingga dengan serta merta mudah mengatakan bahwa jika prestasi belum dipenuhi, maka hal itu disebut wanprestasi tanpa terlebih dahulu melihat sumber perikatan tersebut.

A. Prestasi

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian, baik karena perjanjian, karena undang-undang, atau kepatutan dam kebiasaan disebut prestasi. Prestasi merupakan kewajiban kontraktual (contractual obligation). Dalam perjanjian timbal-balik, prestasi dapat berlaku bagi debitur maupun kreditur.
Contohnya, dalam perjanjian kerja, pekerja memiliki kewajiban untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam posisi ini, pekerja berkedudukan sebagai debitur. Sebaliknya, majikan juga memiliki kewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja, maka dalam posis ini majikan bertindak sebagai debitur.
Prestasi berdasarkan asal lahirnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Prestasi yang ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian. Prestasi bentuk ini berasal dari kesepakatan yang dibuat oleh para pihak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.      Kewajiban yang ditentukan oleh Undang-Undang. Selain kewajiban para pihak yang telah disepakati bersama, dimungkinkan suatu perikatan menimbulkan kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga kreditur disamping harus memenuhi prestasi yang telah disepakatinya, juga harus memenuhi prestasi yang diamanatkan oleh undang-undang.
3.      Kewajiban yang ditentukan oleh kepatutan dan kebiasaan. Pasal 1338 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Prestasi berdasarkan bentuk pelaksanaannya, menurut Pasal 1234 KUHPerdata dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Memberikan sesuatu.
Wujud prestasi dalam memberikan sesuatu berupa kewajiban debitur dalam memberikan sesuatu kepada debitur. Kewajiban untuk memberikan sesuatu tidak harus berupa penyerahan untuk dimiliki pihak yang menerima, tetapi juga dapat berupa penyerahan untuk sekedar dinikmati atau dipakai seperti kewajiban orang yang menyewakan untuk menyerahkan obyek sewa kepada penyewa.[2]
2.      Melaksanakan atau berbuat sesuatu.
Memberikan sesuatu sama dengan melakukan atau berbuat sesuatu. Penentuan batas keduanya tidak jelas. Walaupun menurut tata bahasa, memberi adalah berbuat, tetapi pada umumnya yang diartikan memberi adalah menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa kepada penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi yang bersifat positif tidak berupa memberi, misalnya melukis atau menebang pohon.[3]
3.      Tidak berbuat atau melaksanakan sesuatu.
Prestasi debitur dalam bentuk ini hanyalah berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat sesuatu. Misalnya tidak akan mendirikan bangunan atau tidak menghalangi orang untuk mendirikan bangunan.
Prestasi dapat berupa perbuatan satu kali, jadi sifatnya sepintas lalu misalnya penyerahan atau levering dari suatu benda, atau terdiri dari serentetan perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya sedikit banyak terus-menerus, antara lain perjanjian sewa-menyewa dan perjanjiak kerja. Dapat juga prestasi itu berupa tingkah laku yang pasif belaka yang terdapat pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.[4]


B. Wanprestasi 


Para pihak yang mengadakan perjanjian wajib melaksanakan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian, baik karena perjanjian, karena undang-undang, atau kepatutan dan kebiasaan atau yang biasa disebut prestasi, wajib dipenuhi oleh para pihak.
Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perjanjian yang harus dipenuhi oleh debitur. Namun demikian, adakalanya prestasi tersebut kadangkala tidak ditunaikan ssecara penuh atau secara baik, sehingga menyebabkan kekecewaan bagi pihak lain. Ada penghalang ketika debitur melaksanakan prestasi sehingga prestasi itu tidak dapat terpenuhi. Penghalang untuk memenuhi prestasi terjadi karena dua kemungkinan alasan, yaitu :[5]
1.    Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian;
2.    Karena keadaan memaksa (force majeure, overmacht), sesuatu yang terjadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bermasalah.
Apabila tidak terpenuhinya prestasi yang lahir dari perjanjian disebabkan karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Istilah lain dari wanprestasi adalah cidera janji atau ingkar janji.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek, dan prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Menurut M. Yahya Harahap, wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Menurutnya, seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.[6]
Wanprestasi dalam hukum perjanjian mempunyai makna yaitu debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya sehingga kreditur tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan.[7] J. Satrio menyebutkan unsur-unsur wanprestasi adalah sebagai berikut:[8]
1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi; atau,
2.    Debitur keliru berprestasi; atau,
3.    Debitur terlambat berprestasi.
Subekti menyebutkan bahwa wanprestasi debitur dapat berupa:[9]
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.    Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
3.    Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
4.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Debitur yang sama sekali tidak memberikan prestasinya bisa disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi, atau karena memang kreditur objektif ttidak mungkin berprestasi lagi, atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.[10] Debitur yang keliru berprestasi dalam pemikirannya telah memberikan prestasi, tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur lain dari yang diperjanjikan.[11] Sedangkan debitur terlambat berprestasi mengandung pengertian obyek prestasinya betul, tetapi waktu pemenuhannya tidak sebagaimana diperjanjikan. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai.[12]
Timbulnya wanprestasi berasal dari kesalahan debitur, yakni tidak melaksanakan kewajiban kontraktual yang seharusnya ditunaikan. Kesalahan tersebut adalah kesalahan dalam arti luas,[13] yakni berupa kesengajaan (opzet) atau kealpaan (onachtzaamheid).
Kesalahan dalam wanprestasi adalah kesalahan yang merugikan bagi kreditur dan perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada debitur. Kerugian yang diderita kreditur dapat berupa biaya-biaya yang telah dikeluarkan kreditur, kerugian yang menimpa harta benda milik kreditur, atau kehilangan untungan yang diharapkan.
Hak kreditur terhadap debitur yang wanprestasi diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata, yang manyatakan bahwa pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjiannya, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan perjanjian, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Biaya maksudnya adalah segala ongkos biaya yang betul-betulsudah dikeluarkan. Kerugian adalah segala kerugian karena musnah/rusaknya barang akibat debitur wanprestasi. Bunga adalah segala keuntungan yang sudah diharapkan.
Berdasarkan Pasal 1267 tersebut, dapat diketahui bahwa kreditur yang mendapat kerugian karena debitur melakukan wanprestasi, kreditur memiliki alternatif untuk melakukan upaya hukum sebagai berikut:
1.    Meminta pelaksanaan perjanjian jika masih menungkinkan; atau
2.    Meminta ganti rugi; atau
3.    Meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus ganti urgi;
4.    Dalam perjanjian timbal balik, dapat diminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.
Apabila kreditur yang dirugikan akibat tindakan wanprestasi debitur, maka kreditur harus dapat membuktikan kesalahan debitur (tidak berprestasi), kerugian yang diderita, dan hubungan kausal antara kerugian dengan wanprestasi. Pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada hakim. Perjanjian tidak batal dengan sendirinya pada saat kreditur nyata-nyata wanprestasi.
Syarat pembatalan perjanjian selalu dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik, bila salah satu pihak tidak berprestasi. Bila wanprestasi terjadi, perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, sehingga tuntutan pembatalan harus dilakukan. Dalam hal syarat batal tidak tercantum dalam perjanjian, hakim leluasa dengan mengingat keadaan atas permintaan tergugat meminta jangka waktu tertentu (penundaan) asal tidak lebih dari satu bulan. Renggang waktu itu disebut terme de grace.
Syarat-syarat pembatalan perjanjian meliputi :
1.    Perjanjian harus timbal balik;
2.    Harus ada wanprestasi;
3.    Harus ada putusan hakim.
Pasal 1248 KUHPerdata memberikan batasa tuntutan ganti rugi. Yang dituntut oleh kreditur hanya akibat langsung dari debitur wanprestasi. Istilah “akibat langsung” tidak dapat dibuat ukuran umum, namun harus dilihat secara kasuistis oleh hakim dalam memeriksa perkara.


C. Perbuatan Melawan Hukum 

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk kepada kepada Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal tersebut menyebutkan, “Setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan kepada orang itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu onnrechtmatigedaad. Dalam istilah “melawan” melekat sikap aktif dan pasif. Sikap aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Sifat pasif berarti sengaja diam saja atau bersikap dengan pasif sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain.[14]
Istilah melawan hukum sebelum tahun 1919 diartikan sempit, yaitu setiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang, atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Pada tahu 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas, ditandai dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen. Menurut Arrest tersebut, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaidah kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat.[15]
Perbuatan melawan hukum secara luas memiliki makna sebagai berikut:
1.    Melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif dibagi menjadi dua, yaitu (1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik; dan (2) Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan, dan hak mutlak lainnya.
2.    Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang didasarkan hukum, baik tertulis atau tidak tertulis.
3.    Bertentangan dengan kaidah kesusilaan, yaitu bermakna bertentangan dengan nilai-nilai moral, sepanjang dalam kehidupan kemasyaratan diakui sebagai norma hukum.
4.    Bertentangan dengan kaidah kepatutan, yaitu bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Yang termasuk kategori bertentangan dengan kepatutan adalah (1) Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, dan (2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
Perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain dapat digugat untuk memberikan ganti rugi. Hoffman mengatakan ada empat unsur atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh penggugat manakala dia mengajukan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Unsur-unsur tersebu adalah sebagai berikut:[16]
1.    Harus ada yang melakukan perbuatan;
2.    Perbuatan tersebut harus melawan hukum;
3.    Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain;
4.    Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya.
J. Satrio mengemukakan unsur-unsur yang tersimpul Pasal 1365 KUPerdata adalah sebagai berikut :[17]
1.    Adanya tindakan/perbuatan;
2.    Perbuatan itu harus melawan hukum;

3.    Pelakunya memiliki unsur kesalahan; dan
4.    Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian.


[1] Subekti, 1988, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Intermasa, Jakarta, hal. 122.
[2] Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, FH UII Pers, Yogyakarta, hal. 272.
[3] R. Setiawan, 1986, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cipta, Bandung, hal. 16.
[4] Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, 1980, Hukum Perutangan Bagian A, FH UGM, Yogyakarta, hal. 4.
[5] Ibid., hal. 20.
[6] M. Yahya Harahap, 1986, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 60.
[7] J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 314.
[8] Ibid., hal. 122.
[9] Subekti, 1984, Hukum Perjanjian, Intermasa, Jakarta, hal. 45.
[10] Ibid.
[11] Ibid., hal. 128.
[12] Ibid., hal. 133.
[13] Kesalahan dalam arti sempit hanya bermakna kesengajaan saja.
[14] M.A. Moegni Djojodirdjo, 1982, Perbuatan Melawan Hukum, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 13.
[15] Ibid., hal. 21.
[16] Ridwan Khairandy, op.cit., hal. 302.
[17] J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-Undang, Bagian Pertama, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 139.

1 komentar: