Perkembangan hukum dewasa ini
semakin dinamis dan kompleks. Hal itu berlaku pula bagi perkembangan hukum
perdata, di mana termasuk di dalamnya adalah hukum perikatan. Perikatan sendiri
oleh Subekti didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan
harta benda) antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak
menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan yang memberi hak pada satu pihak
untuk menuntut sesuatu dari pihak lainnya, dan lainnya diwajibkan memenuhi
tuntutan itu.[1]
Berbagai macam bentuk perikatan
mewarnai kontrak bisnis antara individu atau badan hukum dengan individu atau
badan hukum lainnya. Keadaan hukum yang lahir dari adanya perikatan juga turut
berkembang dinamis mengikuti kedinamisan perkembangan hukum perikatan.
Hukum perikatan merupakan konsep
hukum yang khas dari sistem hukum civil law, seperti yang dianut di
Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol dan Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia,
perikatan ditempatkan dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPerdata) tentang perikatan (van verbitenis). Buku III tersebut
mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian (kontrak) dan perikatan yang
lahir karena undang-undang.
Perikatan, baik yang lahir dari
perjanjian maupun undang-undang, akan melahirkan konsekuensi berupa prestasi
yang harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perikatan sebagai salah
satu dari unsur perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu
perikatan, maka para pihak yang mengadakan perikatan wajib melaksanakan
kewajiban yang timbul, baik karena perjanjian, undang-undang maupun kepatutan
atau kebiasaan.
Hal yang cukup sering terjadi dalam
prakteknya, ada kalanya salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasi yang
menjadi kewajibannya. Tidak terpenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan,
yaitu karena kesalahan baik sengaja atau lalai, atau karena sesuatu yang
terjadi di luar kemampuan pihak yang hendak memenuhi prestasi.
Prestasi yang tidak dipenuhi akan
berakibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, tergantung dari
sumber perikatan, apakah berasal dari perjanjian atau dari selainnya
(undang-undang, kepatutan atau kebiasaan). Antara wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum seringkali bertumpang tindih di antara keduanya.
Terjadinya tumpang tindih tersebut
antara lain disebabkan oleh sistem hukum perikatan yang dianut oleh civil
law. Hukup perikatan dalam sistem civil law merupakan satu kesatuan
yang mencakup kontrak dan perbuatan melawan hukum. Dalam praktiknya, ada kasus
yang seharusnya dikualifikasikan sebagai wanprestasi, tetapi ada yang
mengkualifikasikan kasus tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, dan ada pula
yang sebaliknya. Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara
wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sehingga dengan serta merta mudah
mengatakan bahwa jika prestasi belum dipenuhi, maka hal itu disebut wanprestasi
tanpa terlebih dahulu melihat sumber perikatan tersebut.
A. Prestasi
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh
para pihak dalam perjanjian, baik karena perjanjian, karena undang-undang, atau
kepatutan dam kebiasaan disebut prestasi. Prestasi merupakan kewajiban
kontraktual (contractual obligation). Dalam perjanjian timbal-balik,
prestasi dapat berlaku bagi debitur maupun kreditur.
Contohnya, dalam perjanjian kerja,
pekerja memiliki kewajiban untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam
posisi ini, pekerja berkedudukan sebagai debitur. Sebaliknya, majikan juga
memiliki kewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja, maka dalam posis ini
majikan bertindak sebagai debitur.
Prestasi berdasarkan asal lahirnya
dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.
Prestasi yang ditentukan oleh para
pihak dalam perjanjian. Prestasi bentuk ini berasal dari kesepakatan yang
dibuat oleh para pihak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya.
2.
Kewajiban yang ditentukan oleh
Undang-Undang. Selain kewajiban para pihak yang telah disepakati bersama,
dimungkinkan suatu perikatan menimbulkan kewajiban yang ditentukan oleh
undang-undang, sehingga kreditur disamping harus memenuhi prestasi yang telah
disepakatinya, juga harus memenuhi prestasi yang diamanatkan oleh
undang-undang.
3.
Kewajiban yang ditentukan oleh
kepatutan dan kebiasaan. Pasal 1338 KUHPerdata menentukan bahwa suatu
perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di
dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian
diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Prestasi berdasarkan bentuk
pelaksanaannya, menurut Pasal 1234 KUHPerdata dibedakan menjadi tiga macam,
yaitu :
1.
Memberikan sesuatu.
Wujud prestasi dalam memberikan sesuatu berupa
kewajiban debitur dalam memberikan sesuatu kepada debitur. Kewajiban untuk
memberikan sesuatu tidak harus berupa penyerahan untuk dimiliki pihak yang
menerima, tetapi juga dapat berupa penyerahan untuk sekedar dinikmati atau
dipakai seperti kewajiban orang yang menyewakan untuk menyerahkan obyek sewa
kepada penyewa.[2]
2.
Melaksanakan atau berbuat sesuatu.
Memberikan sesuatu sama dengan melakukan atau berbuat
sesuatu. Penentuan batas keduanya tidak jelas. Walaupun menurut tata bahasa,
memberi adalah berbuat, tetapi pada umumnya yang diartikan memberi adalah
menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa kepada
penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi
yang bersifat positif tidak berupa memberi, misalnya melukis atau menebang
pohon.[3]
3.
Tidak berbuat atau melaksanakan
sesuatu.
Prestasi debitur dalam bentuk ini hanyalah berupa
tidak melakukan sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat sesuatu. Misalnya
tidak akan mendirikan bangunan atau tidak menghalangi orang untuk mendirikan
bangunan.
Prestasi dapat berupa perbuatan satu
kali, jadi sifatnya sepintas lalu misalnya penyerahan atau levering dari
suatu benda, atau terdiri dari serentetan perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya
sedikit banyak terus-menerus, antara lain perjanjian sewa-menyewa dan
perjanjiak kerja. Dapat juga prestasi itu berupa tingkah laku yang pasif belaka
yang terdapat pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.[4]
Para pihak yang mengadakan
perjanjian wajib melaksanakan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut.
Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian, baik karena
perjanjian, karena undang-undang, atau kepatutan dan kebiasaan atau yang biasa
disebut prestasi, wajib dipenuhi oleh para pihak.
Pemenuhan prestasi adalah hakikat
dari suatu perjanjian yang harus dipenuhi oleh debitur. Namun demikian,
adakalanya prestasi tersebut kadangkala tidak ditunaikan ssecara penuh atau
secara baik, sehingga menyebabkan kekecewaan bagi pihak lain. Ada penghalang
ketika debitur melaksanakan prestasi sehingga prestasi itu tidak dapat
terpenuhi. Penghalang untuk memenuhi prestasi terjadi karena dua kemungkinan
alasan, yaitu :[5]
1.
Karena kesalahan debitur, baik
karena kesengajaan maupun karena kelalaian;
2.
Karena keadaan memaksa (force majeure, overmacht), sesuatu yang
terjadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bermasalah.
Apabila tidak terpenuhinya prestasi
yang lahir dari perjanjian disebabkan karena kesalahan debitur, baik karena
kesengajaan maupun karena kelalaian, dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan
kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Istilah
lain dari wanprestasi adalah cidera janji atau ingkar janji.
Wanprestasi berasal dari bahasa
Belanda “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek, dan prestatie berarti kewajiban yang harus
dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Menurut M. Yahya Harahap,
wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya. Menurutnya, seorang debitur disebutkan dan
berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan
prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang
ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut
sepatutnya/selayaknya.[6]
Wanprestasi dalam hukum perjanjian
mempunyai makna yaitu debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau
tidak melaksanakan sebagaimana mestinya sehingga kreditur tidak memperoleh apa
yang dijanjikan oleh pihak lawan.[7] J.
Satrio menyebutkan unsur-unsur wanprestasi adalah sebagai berikut:[8]
1.
Debitur sama sekali tidak
berprestasi; atau,
2.
Debitur keliru berprestasi; atau,
3.
Debitur terlambat berprestasi.
Subekti menyebutkan bahwa
wanprestasi debitur dapat berupa:[9]
1.
Tidak melakukan apa yang disanggupi
akan dilakukannya;
2.
Melaksanakan apa yang diperjanjikan,
tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
3.
Melakukan apa yang diperjanjikan
tetapi terlambat;
4.
Melakukan sesuatu yang menurut
perjanjian tidak boleh dilakukan.
Debitur yang sama sekali tidak
memberikan prestasinya bisa disebabkan karena debitur memang tidak mau
berprestasi, atau karena memang kreditur objektif ttidak mungkin berprestasi
lagi, atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.[10]
Debitur yang keliru berprestasi dalam pemikirannya telah memberikan prestasi,
tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur lain dari yang diperjanjikan.[11] Sedangkan
debitur terlambat berprestasi mengandung pengertian obyek prestasinya betul,
tetapi waktu pemenuhannya tidak sebagaimana diperjanjikan. Orang yang terlambat
berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai.[12]
Timbulnya wanprestasi berasal dari
kesalahan debitur, yakni tidak melaksanakan kewajiban kontraktual yang
seharusnya ditunaikan. Kesalahan tersebut adalah kesalahan dalam arti luas,[13]
yakni berupa kesengajaan (opzet) atau
kealpaan (onachtzaamheid).
Kesalahan dalam wanprestasi adalah
kesalahan yang merugikan bagi kreditur dan perbuatan itu harus dapat
dipersalahkan kepada debitur. Kerugian yang diderita kreditur dapat berupa
biaya-biaya yang telah dikeluarkan kreditur, kerugian yang menimpa harta benda
milik kreditur, atau kehilangan untungan yang diharapkan.
Hak kreditur terhadap debitur yang
wanprestasi diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata, yang manyatakan bahwa pihak
yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang
lain untuk memenuhi perjanjiannya, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau
menuntut pembatalan perjanjian, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
Biaya maksudnya adalah segala ongkos biaya yang betul-betulsudah dikeluarkan.
Kerugian adalah segala kerugian karena musnah/rusaknya barang akibat debitur
wanprestasi. Bunga adalah segala keuntungan yang sudah diharapkan.
Berdasarkan Pasal 1267 tersebut,
dapat diketahui bahwa kreditur yang mendapat kerugian karena debitur melakukan
wanprestasi, kreditur memiliki alternatif untuk melakukan upaya hukum sebagai
berikut:
1.
Meminta pelaksanaan perjanjian jika
masih menungkinkan; atau
2.
Meminta ganti rugi; atau
3.
Meminta pelaksanaan perjanjian
sekaligus ganti urgi;
4.
Dalam perjanjian timbal balik, dapat
diminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.
Apabila kreditur yang dirugikan
akibat tindakan wanprestasi debitur, maka kreditur harus dapat membuktikan
kesalahan debitur (tidak berprestasi), kerugian yang diderita, dan hubungan
kausal antara kerugian dengan wanprestasi. Pembatalan perjanjian harus
dimintakan kepada hakim. Perjanjian tidak batal dengan sendirinya pada saat
kreditur nyata-nyata wanprestasi.
Syarat pembatalan perjanjian selalu
dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik, bila salah satu
pihak tidak berprestasi. Bila wanprestasi terjadi, perjanjian tidak batal demi
hukum, tetapi dapat dibatalkan, sehingga tuntutan pembatalan harus dilakukan.
Dalam hal syarat batal tidak tercantum dalam perjanjian, hakim leluasa dengan
mengingat keadaan atas permintaan tergugat meminta jangka waktu tertentu
(penundaan) asal tidak lebih dari satu bulan. Renggang waktu itu disebut terme de grace.
Syarat-syarat pembatalan perjanjian
meliputi :
1.
Perjanjian harus timbal balik;
2.
Harus ada wanprestasi;
3.
Harus ada putusan hakim.
Pasal 1248 KUHPerdata memberikan
batasa tuntutan ganti rugi. Yang dituntut oleh kreditur hanya akibat langsung
dari debitur wanprestasi. Istilah “akibat langsung” tidak dapat dibuat ukuran
umum, namun harus dilihat secara kasuistis oleh hakim dalam memeriksa perkara.
Perbuatan melawan hukum
di Indonesia secara normatif selalu merujuk kepada kepada Pasal 1365
KUHPerdata. Pasal tersebut menyebutkan, “Setiap perbuatan melawan hukum yang
menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan kepada orang itu karena
kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Perbuatan melawan hukum
merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu onnrechtmatigedaad. Dalam istilah “melawan” melekat sikap aktif dan
pasif. Sikap aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu
perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Sifat pasif berarti
sengaja diam saja atau bersikap dengan pasif sehingga menimbulkan kerugian
kepada orang lain.[14]
Istilah melawan hukum
sebelum tahun 1919 diartikan sempit, yaitu setiap perbuatan yang bertentangan dengan
hak orang lain yang timbul karena undang-undang, atau tiap perbuatan yang
bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena
undang-undang. Pada tahu 1919, Hoge Raad
mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas, ditandai dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam
perkara Lindenbaum melawan Cohen. Menurut Arrest
tersebut, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat
yang bertentangan dengan atau melanggar hak subyektif orang lain, kewajiban
hukum pelaku, kaidah kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat.[15]
Perbuatan melawan hukum
secara luas memiliki makna sebagai berikut:
1.
Melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif dibagi menjadi dua,
yaitu (1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik; dan (2)
Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan, dan hak mutlak lainnya.
2.
Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum diartikan
sebagai kewajiban yang didasarkan hukum, baik tertulis atau tidak tertulis.
3.
Bertentangan dengan kaidah kesusilaan, yaitu bermakna bertentangan
dengan nilai-nilai moral, sepanjang dalam kehidupan kemasyaratan diakui sebagai
norma hukum.
4.
Bertentangan dengan kaidah kepatutan, yaitu bertentangan dengan
kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Yang termasuk kategori
bertentangan dengan kepatutan adalah (1) Perbuatan yang merugikan orang lain
tanpa kepentingan yang layak, dan (2) Perbuatan yang tidak berguna yang
menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal
perlu diperhatikan.
Perbuatan melawan hukum
yang merugikan orang lain dapat digugat untuk memberikan ganti rugi. Hoffman
mengatakan ada empat unsur atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh penggugat
manakala dia mengajukan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Unsur-unsur
tersebu adalah sebagai berikut:[16]
1.
Harus ada yang melakukan perbuatan;
2.
Perbuatan tersebut harus melawan hukum;
3.
Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain;
4.
Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya.
J. Satrio mengemukakan
unsur-unsur yang tersimpul Pasal 1365 KUPerdata adalah sebagai berikut :[17]
1.
Adanya tindakan/perbuatan;
2.
Perbuatan itu harus melawan hukum;
3.
Pelakunya memiliki unsur kesalahan; dan
4.
Perbuatan tersebut menimbulkan kerugian.
[2] Ridwan Khairandy,
2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan, FH UII
Pers, Yogyakarta, hal. 272.
[7] J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan Lahir dari
Perjanjian, Buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 314.
[17] J. Satrio, 2001, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari
Undang-Undang, Bagian Pertama,
Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 139.
Putus cinta termasuk wanprestasi???
BalasHapus