Kamis, 18 Juni 2015

UPAYA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN PADA PERUSAHAAN RAMBUT DI KABUPATEN PURBALINGGA




 
Dunia usaha semakin berkembang mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan ini mulai dirasakan setelah bergulirnya reformasi. Pada masa itu, keadaan situasi dan kondisi masyarakat menuntut adanya perbaikan-perbaikan di segala bidang, termasuk dalam bidang usaha. Krisis ekonomi yang menjadi latar belakang munculnya gerakan reformasi telah menyadarkan masyarakat untuk berusaha bangkit dari keterpurukan ekonomi, sehingga berani mencoba mendirikan berbagai bentuk usaha dengan modal yang serba terbatas.
Usaha-usaha swasta yang lahir di tengah masyarakat perlahan mulai tumbuh dan menjamur di negeri ini. Gerak usaha masyarakat pun semakin berkembang dengan konsep yang lebih beragam dengan kesadaran membentuk sebuah badan usaha. Perusahaan-perusahaan mikro, kecil dan menengah terlihat mewarnai dunia bisnis tanah air dan berlomba untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat.
Kabupaten Purbalingga sebagai salah satu wilayah yang menjadi tujuan investasi perusahaan asing telah menjelma sebagai ‘kota industri’ meski dalam skala yang tidak sebesar kota-kota besar. Tercatat, ada 25 perusahaan yang berstatus Penanaman Modal Asing (PMA) dan puluhan perusahaan PMDN yang cukup besar menghiasi kota Perwira tersebut. Sebagian besar perusahaan padat karya yang ada di Kabupaten Purbalingga adalah perusahaan industri pengolahan rambut, yang terdiri dari industri rambut palsu (wig) dan industri bulu mata palsu (eyelash). Selain perusahaan rambut, juga terdapat puluhan perusahaan kayu dengan kategori besar, sedang dan kecil.
Kehadiran perusahaan-perusahaan itu cukup membawa dampak yang positif bagi perekonomian masyarakat setempat. Banyak kaum hawa yang mampu menghasilkan uang dengan bekerja di perusahaan, sehingga dapat membantu perekonomian keluarga. Iklim industri yang kondusif di Purbalingga juga turut mendokrak Upah Minimum yang kini lebih tinggi di bandingkan kabupaten-kabupaten tetangga, sehingga diharapkan mampu memenuhi kebutuhan hidup layak warganya.
Banyaknya perusahaan ternyata juga melahirkan persoalan yang lain. Dari sisi lingkungan misalnya, limbah dan akibat proses produksi pabrik tidak sedikit yang turut mencemari lingkungan sekitar. Pada awal tahun ini, sebuah perusahaan rambut palsu di Kelurahan Mewek didemo warga gara-gara limbah yang ditampung meluber ke jalan desa dan memberikan bau busuk yang sangat menyengat. Selain itu, beberapa penduduk di lingkungan pabrik pengolahan kayu mengeluhkan serpihan-serpihan kayu yang berukuran lembut yang terbang bersama angin.

UPAYA PENGELOLAAN DAN PEMANTAUAN LINGKUNGAN
Perusahaan yang baik adalah yang memperhatikan lingkungannya. Artinya, perusahaan harus peka dan peduli akan dampak yang bisa ditimbulkan terhadap lingkungan sekitar dari adanya perusahaan tersebut, baik terkait dengan proses produksi maupun di luar proses produksi. Kepedulian perusahaan terhadap lingkungan ini mutlak diperlukan jika perusahaan tersebut ingin mempertahankan eksistensinya di masyarakat.
Menurut Elkington, sebagaimana dikutip oleh Yusuf Wibisono, memberikan pandangan bahwa perusahaan yang ingin berkelanjutan atau tetap eksis maka harus memperhatikan ‘3P’ yaitu:[1]
a.    Profit atau keuntungan merupakan unsur terpenting dan menjadi tujuan utama dari setiap kegiatan usaha. Profit itu sendiri pada hakikatnya merupakan tambahan pendapatan yang dapat digunakan untuk menjamin kelangsungan perusahaan.
b.    People atau masyarakat adalah salah satu bagian penting untuk keberlanjutan dari sebuah perusahaan. Karena dukungan masyarakat sekitar sangan diperlukan bagi keberadaan, kelangsungan hidup dan perkembangan perusahaan.
c.    Planet atau lingkungan merupakan unsur ketiga yang perlu diperhatikan. Suatu perusahaan akan eksis apabila menerapkan tanggung jawab kepada lingkungan.
Perusahaan yang memperhatikan masyarakat dan lingkungannya akan mampu bertahan dan berkembang secara baik. Perhatian perusahaan yang semacam ini dikenal dengan istilah tanggung jawab sosial dan lingkungan (corporate social responsibility). Ini merupakan suatu bentuk tanggung jawab perusahaan yang dampak dari keputusan dan aktivitasnya berpengaruh terhadap masyarakat dan lingkungan. Tanggung jawab ini memiliki arti tanggung jawab moral perusahaan terhadap masyarakat.[2]
Upaya awal sebagai bentuk tanggung jawab bagi perusahaan-perusahaan di wilayah Kabupaten Purbalingga adalah dengan melaksanakan upaya pengelolaan lingkungan dan upaya pemantauan lingkungan (UKL – UPL). UKL – UPL ini merupakan kewajiban yang harus ditunaikan oleh perusahaan berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 16 Tahun 2012 tentang Pedoman Penyusunan Dokumen Lingkungan Hidup. Laporan dokumen UKL – UPL dilakukan setiap 6 (enam) bulan dalam rangka meminimalkan dampak negatif yang mungkin timbul akibat usaha atau kegiatan yang dilakukan oleh perusahaan.
Sesuai dengan perijinannya, perusahaan industri rambut palsu bergerak dalam usaha rambut palsu dengan menggunakan bahan baku rambut sintesis (diimpor langsung dari Korea Selatan yang kebutuhannya mencapai 80% dari total bahan baku produksi) dan rambut asli (dari Indonesia yang kebutuhannya mencapai 20%). Kegiatan produksi ini, baik kegiatan utama maupun kegiatan pendukung, merupakan kegiatan industri yang menggunakan tenaga kerja sebagai alat produksi utama, sehingga produk yang dihasilkan merupakan jenis kerajinan tangan (hand made). Hasil produksi diekspor ke Amerika Serikat dan negara-negara Eropa sebagai pasar utamanya.
Upaya pengelolaan lingkungan hidup yang ditujukan untuk meminimalkan dampak negatif akibat adanya perusahaan-perusahaan industri rambut palsu telah dilaksanakan oleh pihak perusahaan. Upaya ini dilakukan dengan memperhatikan aspek-aspek yang menjadi sumber dampak, di antaranya aspek fisik kimia, aspek biologi, aspek sosial ekonomi dan budaya, serta aspek kesehatan masyarakat.
Berikut ini analisa mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup di perusahaan rambut palsu berdasarkan aspek fisik kimia :
1.    Sumber dampak berupa kegiatan pencelupan dan pencucian bahan baku rambut sintesis dan bahan baku rambut asli. Proses ini menimbulkan uap dengan bau yang menyengat, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas udara khususnya di lokasi pencelupan dan pencucian. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan memasang mesin penyedot yang dibuang ke udara bebas melalui cerobong yang tinggi. Hal ini juga dapat menghindarkan bau yang tidak sedap turut mengganggu masyarakat lingkungan sekitar. Adapun bagi pekerja, perusahaan menyediakan alat pelindung diri yang wajib digunakan selama proses pencelupan dan pencucian, seperti masker, sarung tangan elastis, serta sepatu pengaman.
2.    Sumber dampak berupa partikel rambut dan partikel hasil proses produksi lainnya. Partikel-partikel ini akan mengkontaminasi kualitas udara, sehingga mengakibatkan penurunan kualitas udara baik di dalam pabrik maupun di lingkungan luar sekitar pabrik. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan mengadakan penghijauan di dalam dan di luar pabrik untuk menyerap partikel-partikel yang berbahaya.
3.    Sumber dampak berupa operasional mesin genset dan mobilisasi peralatan dan material. Kegiatan ini akan menimbulkan suara bising, sehingga mengurangi kenyamanan lingkungan pabrik maupun masyarakat sekitar pabrik. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan menempatkan mesin genset dan mesin-mesin lainnya yang menimbulkan bunyi bising di ruang khusus yang mampu meredam atau setidaknya mengurangi tingkat kebisingan yang keluar. Selain itu, aktivitas yang dapat menimbulkan kebisingan diatur hanya dilaksanakan pada jam kerja normal, yaitu pukul 07.00 – 16.00 WIB, dan apabila diperlukan dilakukan pada malam hari, maka diadakan pemberitahuan kepada masyarakat sekitar pabrik.
4.    Sumber dampak berupa limbah cair. Limbah ini dapat mengakibatkan penurunan kualitas air permukaan. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan pembuatan sistem drainase, pembuatan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL), dan penghijauan tanaman resapan air. Seluruh perusahaan rambut di Kabupaten Purbalingga belum memiliki Ijin Pengolahan Limbah Cair (IPLC) dan baru satu perusahaan (PT. Royal Korindah) yang mengajukan IPLC. Dengan kata lain, IPAL yang ada di perusahaan sudah berjalan tetapi tanpa memiliki IPLC.
5.    Sumber dampak berupa timbunan sampah, terdiri dari sisa kegiatan produksi, sisa pengepakan, atau sampah-sampah lainnya di luar proses produksi dan pengepakan. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan membuat tempat penyimpanan sampah sementara yang terpilah antara sampah kering, basah dan botol/kaca, penyediaan petugas kebersihan yang beroperasi di dalam dan di luar pabrik dengan jumlah yang memadai, serta bekerja sama dengan Dinas Pekerjaan Umum dalam rangka mengatasi persoalan sampah.
6.    Sumber dampak berupa Bahan Beracun dan Berbahaya (B3). Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan pengajuan ijin tempat penyimpanan sementara limbah B3, namun sampai saat ini hampir semua perusahaan industri rambut palsu di Kabupaten Purbalingga belum memiliki ijin tempat penyimpanan sementara limbah B3.
Analisa mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup di perusahaan rambut palsu berdasarkan aspek fisik biologi, adalah adanya penurunan varietas flora dan fauna darat dan air akibat dari ceceran atau genangan limbah cair. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan pembenahan kembali saluran air dan limbah agar tidak bocor keluar dan mengadakan penghijauan dengan menanam berbagai jenis pepohonan di dalam maupun di luar perusahaan.
Analisa mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup di perusahaan rambut palsu berdasarkan aspek sosial ekonomi dan budaya meliputi peningkatan kesempatan kerja, gangguan kelancaran lalu lintas jalan, gangguan kenyamanan, dan kesenjangan sosial. Bentuk upaya pengelolaan lingkungan hidup yang dilakukan adalah dengan memberikan kesempatan pada warga sekitar untuk menjadi karyawan perusahaan, sehingga dapat bersama-sama memelihara lingkungannya.
Adapun untuk mengatasi kemacetan lalu lintas, perusahaan membantu pengadaan rambu dan marka jalan di sekitar pabrik, serta membantu pengaturan lalu lintas pada jam sibuk. Sedangkan untuk mengantisipasi adangan gangguan kenyamanan, maka perusahaan melakukan pendekatan kepada masyarakat, pemerintah desa dan kecamatan untuk saling memberikan pengertian, serta menyalurkan corporate social responsibility kepada masyarakat sekitar dalam rangka untuk mengadakan pembangunan dan pemeliharaan lingkungan hidup.
Analisa mengenai upaya pengelolaan lingkungan hidup di perusahaan rambut palsu berdasarkan aspek kesehatan pekerja dan masyarakat diindikasikan dengan penurunan kualitas kesehatan dan keselamatan kerja pekerja, serta kesehatan masyarakat di sekitar lingkungan perusahaan. Upaya yang dilakukan adalah dengan mengadakan fasilitas kesehatan, seperti kebersihan, toilet/WC, penyuluhan kesehatan, pemeriksaan kesehatan karyawan dan masyarakat sekitar.
Pelaksanaan upaya pengelolaan lingkungan oleh perusahaan rambut juga diikuti oleh upaya pemantauan lingkungan hidup. Upaya pemantauan tersebut meliputi:
1        Pemantauan kualitas kebauan dan kualitas udara dengan sistem pengukuran langsung melalui uji laboratorium sesuai dengan Baku Mutu Kebauan berdasarkan PP No. 41 Tahun 1999, Kepmen LH No. 50 Tahun 1996, dan Kepmenkes No. 1405/Menkes/SK/XI/2002.
2        Pemantauan kebisingan dengan pengukuran kebisingan secara berkala di laboratorium sesuai dengan Permenkes No. 718/Menkes/Per/XI/1987 dan Kepmen LH No. 48/MENLH/XI/1996.
3        Pemantauan kualitas air secara berkala di laboratorium sesuai dengan Permenkes No. 907 Tahun 2002, Permenkes No. 416 Tahun 1990, serta Perda Provinsi Jawa Tengah No. 5 Tahun 2012.
4        Pemantauan limbah cair dan limbah B3 sesuai dengan Permen LH No. 30 Tahun 2009.
5        Pemantauan timbunan sampah sesuai Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.
Tahap terakhir dari tanggung jawab perusahaan rambut dalam rangka pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup adalah tahap evaluasi.  Tahap ini dilakukan dengan tujuan untuk: (1) memudahkan identifikasi penataan pemrakarsa terhadap peraturan perundang-undangan mengenai pengelolaan lingkungan hidup, (2) mendorong pemrakarsa mengevaluasi kinerja pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup sebagai upaya perbaikan yang dilakukan terus-menerus, (3) memudahkan instansi yang melakukan pengendalian dampak lingkungan hidup dalam penyelesaian permasalahan lingkungan hidup.
Tahap evaluasi yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan rambut di Kabupaten Purbalingga terdiri dari tiga jenis, yaitu sebagai berikut:
1     Evaluasi Kecenderungan (Trend Evaluation)
Evaluasi kecenderungan adalah evaluasi untuk melihat kecenderungan perubahan kualitas lingkungan dalam kurun waktu dan rentang waktu tertentu. Data perubahan dari waktu ke waktu dapat menggambarkan secara lebih jelas mengenai kecenderungan proses suatu kegiatan maupun perubahan kualitas lingkungan yang ditimbulkannya, karena proses suatu kegiatan tidak selalu dalam kondisi normal atau optimal.
2     Evaluasi Tingkat Kritis (Critical Level Evaluation)
Evaluasi tingkat kritis adalah evaluasi terhadap potensi resiko di mana suatu kondisi akan melebihi baku mutu atau standar lainnya, baik untuk periode waktu saat ini maupun waktu yang akan datang. Evaluasi ini dimaksudkan untuk menilai tingkat kekritisan dari suatu dampak.
3     Evaluasi Penataan (Compliance Evaluation)
Evaluasi penataan adalah evaluasi terhadap tingkat kepatuhan dari pemrakarsa kegiatan untuk memenuhi berbagai ketentuan yang terdapat dalam ijin, atau pelaksanaan dari ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam dokumen pengelolaan lingkungan hidup (UKL – UPL).
Secara umum, perusahaan-perusahaan rambut di Kabupaten Purbalingga telah melakukan upaya pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup secara bertahap dan berkesinambungan meliputi beberapa aspek/komponen yang terkena dampak. Upaya tersebut memang belum sempurna, tetapi setidaknya telah memiliki itikad baik untuk menjaga dan mengadakan perbaikan bagi lingkungan hidup, sehingga tidak menimbulkan dampak yang cukup besar, baik terhadap keberlangsungan perusahaan maupun kenyamanan masyarakat dan lingkungan sekitar. Dengan kesadaran para pengusaha diharapkan mampu bersama-sama masyarakat mewujudkan lingkungan hidup yang sehat, indah dan nyaman. 


PERANAN PEMERINTAH DALAM PERMASALAHAN LINGKUNGAN
 
Pemerintah Kabupaten Purbalingga melalui dinas/badan terkait (Badan Lingkungan Hidup, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi, Dinas Perindustrian, Perdagangan dan Koperasi, Dinas Pekerjaan Umum dan Dinas Kesehatan), telah mengadakan koordinasi dalam rangka pelaksanaan pengelolaan dan pemantauan lingkungan hidup yang diselenggarakan oleh perusahaan-perusahaan rambut. Proses penelitian dan pengujian juga telah diupayakan. Contohnya, Dinas Kesehatan melalui UPTD Laboratorium Kesehatan Kabupaten yang mengadakan pemeriksaan air minum dan limbah cair, Dinsosnakertrans juga mengadakan pemeriksaan dan pengujian terhadap alat-alat produksi yang digunakan oleh perusahaan yang rentan terhadap keselamatan dan kesehatan kerja, dan Badan Lingkungan Hidup yang secara rutin memantau perkembangan lingkungan hidup di daerah yang terdapat perusahaannya.
Selain itu, pemerintah juga membantu proses penyelesaian permasalahan lingkungan hidup. Dinsosnakertrans misalnya, beberapa kali menjadi mediasi perselisihan antara perusahaan dan masyarakat sekitar perusahaan terkait dengan permasalahan lingkungan hidup. Begitu pula pembinaan dan penyuluhan yang diadakan juga senantiasa menjelaskan tentang kewajiban perusahaan dalam rangka bertanggung jawab terhadap sosial dan lingkungan, baik dalam bentuk teknis seperti pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), kebersihan pabrik dan lingkungan sekitar, dan jenis lainnya, maupun dalam bentuk penyadaran akan tanggung jawab sosial perusahaan (Corporate Social Responsibility/CSR).
Menurut Pasal 71 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, “Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya di bidang dan/atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melakukan tanggung jawab sosial dan lingkungan.” Kemudian dalam pasal yang sama pada ayat (3) disebutkan, “Perseroan yang tidak melaksanakan kewajiban sebagaimanan yang diatur pada ayat (1) dikenai sanksi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.”
Menurut Pasal 74 ayat (3) tersebut, apabila ada perusahaan yang tidak menerapkan CSR ini akan diberi sanksi di mana diatur dalam peraturan perundang-undangan yang terkait. Maksudnya adalah sanksi yang dikenakan bukan sanksi karena perusahaan tidak melakukan CSR menurut UU Perseroan Terbatas, melainkan sanksi karena perusahaan mengabaikan CSR sehingga perusahaan tersebut melanggar aturan-aturan terkait di bidang sosial dan lingkungan yang berlaku.[3] 
Menindaklanjuti amanah Undang-Undang Perseroan Terbatas, khususnya mengenai CSR, DPRD dan Pemerintah Kabupaten Purbalingga telah mengeluarkan Peraturan Daerah Nomor 28 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial Perusahaan, yang dikeluarkan tanggal 22 Desember 2012. Dengan dikeluarkannya perda tersebut, setidaknya ada kewajiban bagi perusahaan-perusahaan rambut di wilayah Kabupaten Purbalingga agar menyisihkan sebagian anggarannya untuk CSR, yang dititikberatkan pada perbaikan lingkungan hidup. Hal ini diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran para pengusaha terhadap kepedulian lingkungan perusahaan dan lingkungan sekitarnya. Sayangnya, sejauh ini Perda CSR belum ada kejelasan pelaksanaannya.


[1] Yusuf Wibisono, 2007, Membedah Konsep dan Aplikasi CSR (Corporate Social Responsibility), Fascho Publishing, Surabaya, hal. 96.
[2] Joni Emirson, 2007, Perspektif Hukum Bisnis Indonesia pada Era Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, hal. 139.
[3] Widjaya Gunawan dan Yeremia Andi Pratama, 2008, Risiko Hukum dan Bisnis Perusahaan Tanpa CSR, Penebar Swadaya, Jakarta, hal. 98.

Selasa, 09 Juni 2015

WAN PRESTASI DAN PERBUATAN MELAWAN HUKUM



Perkembangan hukum dewasa ini semakin dinamis dan kompleks. Hal itu berlaku pula bagi perkembangan hukum perdata, di mana termasuk di dalamnya adalah hukum perikatan. Perikatan sendiri oleh Subekti didefinisikan sebagai suatu hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda) antara dua orang atau lebih di mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu dari pihak yang lain dan yang memberi hak pada satu pihak untuk menuntut sesuatu dari pihak lainnya, dan lainnya diwajibkan memenuhi tuntutan itu.[1]
Berbagai macam bentuk perikatan mewarnai kontrak bisnis antara individu atau badan hukum dengan individu atau badan hukum lainnya. Keadaan hukum yang lahir dari adanya perikatan juga turut berkembang dinamis mengikuti kedinamisan perkembangan hukum perikatan.
Hukum perikatan merupakan konsep hukum yang khas dari sistem hukum civil law, seperti yang dianut di Perancis, Jerman, Belanda, Spanyol dan Indonesia. Dalam sistem hukum Indonesia, perikatan ditempatkan dalam buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tentang perikatan (van verbitenis). Buku III tersebut mengatur perikatan yang lahir dari perjanjian (kontrak) dan perikatan yang lahir karena undang-undang.
Perikatan, baik yang lahir dari perjanjian maupun undang-undang, akan melahirkan konsekuensi berupa prestasi yang harus dipenuhi oleh para pihak yang mengadakan perikatan sebagai salah satu dari unsur perikatan. Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perikatan, maka para pihak yang mengadakan perikatan wajib melaksanakan kewajiban yang timbul, baik karena perjanjian, undang-undang maupun kepatutan atau kebiasaan.
Hal yang cukup sering terjadi dalam prakteknya, ada kalanya salah satu pihak tidak dapat melaksanakan prestasi yang menjadi kewajibannya. Tidak terpenuhinya kewajiban itu ada dua kemungkinan, yaitu karena kesalahan baik sengaja atau lalai, atau karena sesuatu yang terjadi di luar kemampuan pihak yang hendak memenuhi prestasi.
Prestasi yang tidak dipenuhi akan berakibat adanya wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, tergantung dari sumber perikatan, apakah berasal dari perjanjian atau dari selainnya (undang-undang, kepatutan atau kebiasaan). Antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum seringkali bertumpang tindih di antara keduanya.
Terjadinya tumpang tindih tersebut antara lain disebabkan oleh sistem hukum perikatan yang dianut oleh civil law. Hukup perikatan dalam sistem civil law merupakan satu kesatuan yang mencakup kontrak dan perbuatan melawan hukum. Dalam praktiknya, ada kasus yang seharusnya dikualifikasikan sebagai wanprestasi, tetapi ada yang mengkualifikasikan kasus tersebut sebagai perbuatan melawan hukum, dan ada pula yang sebaliknya. Masih banyak masyarakat yang belum memahami perbedaan antara wanprestasi dan perbuatan melawan hukum, sehingga dengan serta merta mudah mengatakan bahwa jika prestasi belum dipenuhi, maka hal itu disebut wanprestasi tanpa terlebih dahulu melihat sumber perikatan tersebut.

A. Prestasi

Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian, baik karena perjanjian, karena undang-undang, atau kepatutan dam kebiasaan disebut prestasi. Prestasi merupakan kewajiban kontraktual (contractual obligation). Dalam perjanjian timbal-balik, prestasi dapat berlaku bagi debitur maupun kreditur.
Contohnya, dalam perjanjian kerja, pekerja memiliki kewajiban untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu. Dalam posisi ini, pekerja berkedudukan sebagai debitur. Sebaliknya, majikan juga memiliki kewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja, maka dalam posis ini majikan bertindak sebagai debitur.
Prestasi berdasarkan asal lahirnya dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.      Prestasi yang ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian. Prestasi bentuk ini berasal dari kesepakatan yang dibuat oleh para pihak. Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata menentukan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
2.      Kewajiban yang ditentukan oleh Undang-Undang. Selain kewajiban para pihak yang telah disepakati bersama, dimungkinkan suatu perikatan menimbulkan kewajiban yang ditentukan oleh undang-undang, sehingga kreditur disamping harus memenuhi prestasi yang telah disepakatinya, juga harus memenuhi prestasi yang diamanatkan oleh undang-undang.
3.      Kewajiban yang ditentukan oleh kepatutan dan kebiasaan. Pasal 1338 KUHPerdata menentukan bahwa suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, dan undang-undang.
Prestasi berdasarkan bentuk pelaksanaannya, menurut Pasal 1234 KUHPerdata dibedakan menjadi tiga macam, yaitu :
1.      Memberikan sesuatu.
Wujud prestasi dalam memberikan sesuatu berupa kewajiban debitur dalam memberikan sesuatu kepada debitur. Kewajiban untuk memberikan sesuatu tidak harus berupa penyerahan untuk dimiliki pihak yang menerima, tetapi juga dapat berupa penyerahan untuk sekedar dinikmati atau dipakai seperti kewajiban orang yang menyewakan untuk menyerahkan obyek sewa kepada penyewa.[2]
2.      Melaksanakan atau berbuat sesuatu.
Memberikan sesuatu sama dengan melakukan atau berbuat sesuatu. Penentuan batas keduanya tidak jelas. Walaupun menurut tata bahasa, memberi adalah berbuat, tetapi pada umumnya yang diartikan memberi adalah menyerahkan hak milik atau memberi kenikmatan atas barang yang disewa kepada penyewa. Adapun yang dimaksud dengan berbuat sesuatu adalah setiap prestasi yang bersifat positif tidak berupa memberi, misalnya melukis atau menebang pohon.[3]
3.      Tidak berbuat atau melaksanakan sesuatu.
Prestasi debitur dalam bentuk ini hanyalah berupa tidak melakukan sesuatu atau membiarkan orang lain berbuat sesuatu. Misalnya tidak akan mendirikan bangunan atau tidak menghalangi orang untuk mendirikan bangunan.
Prestasi dapat berupa perbuatan satu kali, jadi sifatnya sepintas lalu misalnya penyerahan atau levering dari suatu benda, atau terdiri dari serentetan perbuatan-perbuatan sehingga sifatnya sedikit banyak terus-menerus, antara lain perjanjian sewa-menyewa dan perjanjiak kerja. Dapat juga prestasi itu berupa tingkah laku yang pasif belaka yang terdapat pada perikatan untuk tidak berbuat sesuatu.[4]


B. Wanprestasi 


Para pihak yang mengadakan perjanjian wajib melaksanakan kewajiban yang timbul akibat perjanjian tersebut. Kewajiban yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam perjanjian, baik karena perjanjian, karena undang-undang, atau kepatutan dan kebiasaan atau yang biasa disebut prestasi, wajib dipenuhi oleh para pihak.
Pemenuhan prestasi adalah hakikat dari suatu perjanjian yang harus dipenuhi oleh debitur. Namun demikian, adakalanya prestasi tersebut kadangkala tidak ditunaikan ssecara penuh atau secara baik, sehingga menyebabkan kekecewaan bagi pihak lain. Ada penghalang ketika debitur melaksanakan prestasi sehingga prestasi itu tidak dapat terpenuhi. Penghalang untuk memenuhi prestasi terjadi karena dua kemungkinan alasan, yaitu :[5]
1.    Karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian;
2.    Karena keadaan memaksa (force majeure, overmacht), sesuatu yang terjadi di luar kemampuan debitur, debitur tidak bermasalah.
Apabila tidak terpenuhinya prestasi yang lahir dari perjanjian disebabkan karena kesalahan debitur, baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian, dan kesemuanya itu dapat dipersalahkan kepadanya, maka dikatakan bahwa debitur telah melakukan wanprestasi. Istilah lain dari wanprestasi adalah cidera janji atau ingkar janji.
Wanprestasi berasal dari bahasa Belanda “wanprestatie”. Wan berarti buruk atau jelek, dan prestatie berarti kewajiban yang harus dipenuhi oleh debitur dalam setiap perikatan.
Menurut M. Yahya Harahap, wanprestasi yaitu pelaksanaan kewajiban yang tidak tepat pada waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya. Menurutnya, seorang debitur disebutkan dan berada dalam keadaan wanprestasi apabila dia dalam melakukan pelaksanaan prestasi perjanjian telah lalai sehingga terlambat dari jadwal waktu yang ditentukan atau dalam melaksanakan prestasi tidak menurut sepatutnya/selayaknya.[6]
Wanprestasi dalam hukum perjanjian mempunyai makna yaitu debitur tidak melaksanakan kewajiban prestasinya atau tidak melaksanakan sebagaimana mestinya sehingga kreditur tidak memperoleh apa yang dijanjikan oleh pihak lawan.[7] J. Satrio menyebutkan unsur-unsur wanprestasi adalah sebagai berikut:[8]
1.    Debitur sama sekali tidak berprestasi; atau,
2.    Debitur keliru berprestasi; atau,
3.    Debitur terlambat berprestasi.
Subekti menyebutkan bahwa wanprestasi debitur dapat berupa:[9]
1.    Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya;
2.    Melaksanakan apa yang diperjanjikan, tetapi tidak sebagaimana yang diperjanjikan;
3.    Melakukan apa yang diperjanjikan tetapi terlambat;
4.    Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukan.
Debitur yang sama sekali tidak memberikan prestasinya bisa disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi, atau karena memang kreditur objektif ttidak mungkin berprestasi lagi, atau secara subjektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi.[10] Debitur yang keliru berprestasi dalam pemikirannya telah memberikan prestasi, tetapi dalam kenyataannya yang diterima kreditur lain dari yang diperjanjikan.[11] Sedangkan debitur terlambat berprestasi mengandung pengertian obyek prestasinya betul, tetapi waktu pemenuhannya tidak sebagaimana diperjanjikan. Orang yang terlambat berprestasi dikatakan dalam keadaan lalai.[12]
Timbulnya wanprestasi berasal dari kesalahan debitur, yakni tidak melaksanakan kewajiban kontraktual yang seharusnya ditunaikan. Kesalahan tersebut adalah kesalahan dalam arti luas,[13] yakni berupa kesengajaan (opzet) atau kealpaan (onachtzaamheid).
Kesalahan dalam wanprestasi adalah kesalahan yang merugikan bagi kreditur dan perbuatan itu harus dapat dipersalahkan kepada debitur. Kerugian yang diderita kreditur dapat berupa biaya-biaya yang telah dikeluarkan kreditur, kerugian yang menimpa harta benda milik kreditur, atau kehilangan untungan yang diharapkan.
Hak kreditur terhadap debitur yang wanprestasi diatur dalam Pasal 1267 KUHPerdata, yang manyatakan bahwa pihak yang terhadapnya perikatan tidak terpenuhi, dapat memilih: memaksa pihak yang lain untuk memenuhi perjanjiannya, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan perjanjian, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga. Biaya maksudnya adalah segala ongkos biaya yang betul-betulsudah dikeluarkan. Kerugian adalah segala kerugian karena musnah/rusaknya barang akibat debitur wanprestasi. Bunga adalah segala keuntungan yang sudah diharapkan.
Berdasarkan Pasal 1267 tersebut, dapat diketahui bahwa kreditur yang mendapat kerugian karena debitur melakukan wanprestasi, kreditur memiliki alternatif untuk melakukan upaya hukum sebagai berikut:
1.    Meminta pelaksanaan perjanjian jika masih menungkinkan; atau
2.    Meminta ganti rugi; atau
3.    Meminta pelaksanaan perjanjian sekaligus ganti urgi;
4.    Dalam perjanjian timbal balik, dapat diminta pembatalan perjanjian sekaligus meminta ganti rugi.
Apabila kreditur yang dirugikan akibat tindakan wanprestasi debitur, maka kreditur harus dapat membuktikan kesalahan debitur (tidak berprestasi), kerugian yang diderita, dan hubungan kausal antara kerugian dengan wanprestasi. Pembatalan perjanjian harus dimintakan kepada hakim. Perjanjian tidak batal dengan sendirinya pada saat kreditur nyata-nyata wanprestasi.
Syarat pembatalan perjanjian selalu dianggap dicantumkan dalam setiap perjanjian timbal balik, bila salah satu pihak tidak berprestasi. Bila wanprestasi terjadi, perjanjian tidak batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, sehingga tuntutan pembatalan harus dilakukan. Dalam hal syarat batal tidak tercantum dalam perjanjian, hakim leluasa dengan mengingat keadaan atas permintaan tergugat meminta jangka waktu tertentu (penundaan) asal tidak lebih dari satu bulan. Renggang waktu itu disebut terme de grace.
Syarat-syarat pembatalan perjanjian meliputi :
1.    Perjanjian harus timbal balik;
2.    Harus ada wanprestasi;
3.    Harus ada putusan hakim.
Pasal 1248 KUHPerdata memberikan batasa tuntutan ganti rugi. Yang dituntut oleh kreditur hanya akibat langsung dari debitur wanprestasi. Istilah “akibat langsung” tidak dapat dibuat ukuran umum, namun harus dilihat secara kasuistis oleh hakim dalam memeriksa perkara.


C. Perbuatan Melawan Hukum 

Perbuatan melawan hukum di Indonesia secara normatif selalu merujuk kepada kepada Pasal 1365 KUHPerdata. Pasal tersebut menyebutkan, “Setiap perbuatan melawan hukum yang menimbulkan kerugian terhadap orang lain, mewajibkan kepada orang itu karena kesalahannya untuk mengganti kerugian tersebut.”
Perbuatan melawan hukum merupakan terjemahan dari istilah Belanda, yaitu onnrechtmatigedaad. Dalam istilah “melawan” melekat sikap aktif dan pasif. Sikap aktif dapat dilihat apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian pada orang lain. Sifat pasif berarti sengaja diam saja atau bersikap dengan pasif sehingga menimbulkan kerugian kepada orang lain.[14]
Istilah melawan hukum sebelum tahun 1919 diartikan sempit, yaitu setiap perbuatan yang bertentangan dengan hak orang lain yang timbul karena undang-undang, atau tiap perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukumnya sendiri yang timbul karena undang-undang. Pada tahu 1919, Hoge Raad mulai menafsirkan perbuatan melawan hukum secara luas, ditandai dengan Arrest tanggal 31 Januari 1919 dalam perkara Lindenbaum melawan Cohen. Menurut Arrest tersebut, perbuatan melawan hukum diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat yang bertentangan dengan atau melanggar hak subyektif orang lain, kewajiban hukum pelaku, kaidah kesusilaan, atau kepatutan dalam masyarakat.[15]
Perbuatan melawan hukum secara luas memiliki makna sebagai berikut:
1.    Melanggar hak subyektif orang lain. Hak subyektif dibagi menjadi dua, yaitu (1) Hak-hak perorangan seperti kebebasan, kehormatan, nama baik; dan (2) Hak atas harta kekayaan, hak kebendaan, dan hak mutlak lainnya.
2.    Bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku. Kewajiban hukum diartikan sebagai kewajiban yang didasarkan hukum, baik tertulis atau tidak tertulis.
3.    Bertentangan dengan kaidah kesusilaan, yaitu bermakna bertentangan dengan nilai-nilai moral, sepanjang dalam kehidupan kemasyaratan diakui sebagai norma hukum.
4.    Bertentangan dengan kaidah kepatutan, yaitu bertentangan dengan kepatutan yang berlaku dalam lalu lintas masyarakat. Yang termasuk kategori bertentangan dengan kepatutan adalah (1) Perbuatan yang merugikan orang lain tanpa kepentingan yang layak, dan (2) Perbuatan yang tidak berguna yang menimbulkan bahaya bagi orang lain, yang berdasarkan pemikiran yang normal perlu diperhatikan.
Perbuatan melawan hukum yang merugikan orang lain dapat digugat untuk memberikan ganti rugi. Hoffman mengatakan ada empat unsur atau persyaratan yang harus dipenuhi oleh penggugat manakala dia mengajukan ganti rugi karena perbuatan melawan hukum. Unsur-unsur tersebu adalah sebagai berikut:[16]
1.    Harus ada yang melakukan perbuatan;
2.    Perbuatan tersebut harus melawan hukum;
3.    Perbuatan itu harus menimbulkan kerugian bagi orang lain;
4.    Perbuatan itu karena kesalahan yang dapat ditimpakan kepadanya.
J. Satrio mengemukakan unsur-unsur yang tersimpul Pasal 1365 KUPerdata adalah sebagai berikut :[17]
1.    Adanya tindakan/perbuatan;
2.    Perbuatan itu harus melawan hukum;