Minggu, 17 Januari 2016

HUBUNGAN KERJA, PERJANJIAN KERJA DAN BERAKHIRNYA HUBUNGAN KERJA



PENGERTIAN HUBUNGAN KERJA
 
Menurut Pasal 1 angka 15 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka hubungan kerja memiliki tiga unsur yaitu:
a.    Pekerjaan;
b.    Upah; dan
c.    Perintah.
Pengertian pekerjaan dan perintah hingga saat ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan, termasuk juga mengenai batasan dari pekerjaan. Pengertian pekerjaan dapat diperoleh dalam glosarium ketenagakerjaan yang mendefinisikan sebagai kegiatan fisik dan mental yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu. Mengenai perintah hanya dikenal dua macam perintah dalam hubungan kerja, yaitu perintah langsung dan tidak langsung, tertulis dan tidak tertulis.[1]
Berbeda dengan pekerjaan dan perintah, pendefinisian upah secara tegas sudah dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja, kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah atau akan dilakukan.
Menurut Abdulkadir Muhammad, hubungan kerja adalah perikatan yang terjadi antara pemberi kerja dan penerima kerja berdasarkan perjanjian. Hubungan kerja dapat berupa menjalankan perusahaan atau menjalankan pekerjaan. Hubungan kerja untuk menjalankan perusahaan, pemberi kerja adalah pengusaha, sedangkan penerima kerja adalah pengelola perusahaan yang terdiri atas pemimpin perusahaan dan pembantu pengusaha. Hubungan kerja untuk menjalankan pekerjaan, pemberi kerja dapat berupa pengusaha atau bukan pengusaha, sedangkan penerima kerja selalu pekerja.[2]
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Menurut Imam Soepomo menjelaskan,
“Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan pengusaha/majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, pekerja/buruh mengikatkan diri untuk bekerja dengen menerima upah pada pihak lain (pengusaha/majikan) yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja/buruh dengan membayar upah.”[3]
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat dipahami mengenai hubungan kerja bahwa[4]:
a.       Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang menimbulkan hak dan kewajiban serta mengikat;
b.      Hubungan kerja telah menunjukkan adanya kedudukan masing-masing pada kedua belah pihak yaitu adanya unsur perintah, pekerjaan dan upah.
Perjanjian kerja adalah perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.[5] Perjanjian kerja outsourcing memberikan kemungkinan adanya 2 (dua) komposisi subjek hukum yang bertindak sebagai pihak dalam perjanjian kerja, yaitu: a) pekerja dengan pengusaha, dan b) pekerja dengan pemberi kerja, maka logika hukumnya juga ada perbedaan antara perjanjian kerja a) pekerja dengan pengusaha, dan b) pekerja dengan pemberi kerja.[6]
Analisa tentang perbedaan ini harus dikaitkan dengan Pasal 50 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara pengusaha dan buruh. Hal yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa hubungan kerja hanya terjadi karena adanya perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha. Secara a contrario dapat disimpulkan bahwa perjanjian kerja yang dibuat bukan oleh buruh dan bukan oleh pengusaha (dalam hal ini dibuat oleh pemberi kerja) tidak melahirkan hubungan kerja. Perjanjian kerja antara pekerja dengan pemberi kerja melahirkan hubungan hukum tetapi bukan hubungan kerja.[7]

PERJANJIAN KERJA

Pengusaha dan pekerja dalam memulai hubungan kerja harus membuat suatu perjanjian kerja guna mengetahui kejelasan status dari pekerjaannya. Hal ini sangat bermanfaat bagi pekerja outsourcing agar mengetahui hak dan kewajiban pekerjaannya.[8] Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan majikan atau pemberi kerja dan dilakukan minimal dua subjek hukum mengenai suatu pekerjaan.[9]
Menurut Subekti, pengertian perjanjian adalah suatu peristiwa di manaseorang berjanji kepada seorang lainnya untuk melaksanakan suatu hal.[10] Bab II Buku III KUHPerdata menyamakan antara perjanjian dengan kontrak. Hal tersebut secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni Van verbitenissen die uit contract of overeenkomst (Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian).
Pasal 1313 KUHPerdata mendefinisikan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya. Definisi tersebut dianggap kurang lengkap karena hanya mengacu pada perjanjian sepihak. Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan perjanjian diubah menjadi, “perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau di mana kedua belah pihak saling mengikatkan diri.”[11]
Para pihak di dalam perjanjian adalah debitur dan kreditur. Debitur adalah pihak yang memiliki kewajiban untuk melaksanakan prestasi. Kreditur merupakan pihak yang memiliki hak atau menuntut pemenuhan prestasi dari debitur. Di dalam perjanjian yang bersifat timbal balik (bilateral) kewajiban ada pada kedua belah pihak. Di dalam perjanjian kerja, pekerja memiliki kewajiban untuk melakukan pekerjaan tertentu. Dalam posisi ini, pekerja berkedudukan sebagai debitur. Pengusaha juga memiliki kewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja. Dalam posisi ini, majikan juga berkedudukan sebagai debitur.[12] Oleh karena itu, dalam perjanjian timbal balik seperti perjanjian kerja, pengusaha dan pekerja menjadi debitur dan kreditur sekaligus.
Perjanjian kerja menurut Subekti didefinisikan sebagai perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhandings), yaitu suatu hubungan berdasarkan pihak satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain.[13]
Menurut M.G. Rood, sebagaimana dikutip oleh Djumadi[14], mengemukakan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada apabila telah memenuhi 4 (empat) unsur yaitu :
a.    Adanya unsur work atau pekerjaan;
b.    Adanya unsur service atau peayanan;
c.    Adanya unsur time atau waktu tertentu;
d.   Adanya unsur pay atau upah.
Pembuatan perjanjian kerja mempunyai fungsi sebagai upaya peningkatan kualitas pelaksanaan hubungan kerja guna mewujudkan ketenangan bekerja dan ketenangan berusaha di perusahaan. Adanya perjanjian kerja bertujuan untuk memberikan kepastian adanya hubungan kerja, serta untuk mengetahui hak dan kewajiban pekerja dan pengusaha. Melalui perjanjian kerja inilah pekerja dan pengusaha akan memperoleh manfaat berupa ketenangan bekerja dan meningkatnya produktifitas perusahaan, sehingga dapat pula berimbas pada peningkatan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.[15]
Perjanjian kerja dapat dibuat dalam dua bentuk, yaitu perjanjian kerja tertulis dan perjanjian kerja lisan. Khusus untuk perjanjian kerja waktu tertentu, maka perjanjian kerja harus dibuat dalam bentuk tertulis. Setiap perjanjian kerja harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[16]:
a.    Sepakat antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja;
b.    Pengusaha atau pemberi kerja dan pekerja mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum;
c.    Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;
d.   Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian kerja yang dibuat oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja yang tidak memenuhi syarat huruf a dan b di atas, maka perjanjian kerja tersebut dapat dibatalkan. Sedangkan perjanjian kerja yang tidak memenuhi ketentuan syarat huruf c dan d di atas, maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. Perjanjian kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah kecuali atas persetujuan para pihak.
Ketentuan dalam perjanjian kerja menyangkut besarnya upah dan cara pembayarannya, serta syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berbeda dalam perusahaan. Menurut Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a.       Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha;
b.      Nama, jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
c.       Jabatan atau jenis pekerjaan;
d.      Tempat pekerjaan;
e.       Besarnya upah dan cara pembayarannya;
f.       Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
g.      Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h.      Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.        Tanda tangan para pihak dalam perjanjian kerja.
Perjanjian kerja menurut jangka waktu berlakunya perjanjian terdiri atas 2 (dua) jenis, yaitu[17] :
a.    Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja ini hanya untuk jenis pekerjaan sebagai berikut :
i.          Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
ii.        Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;
iii.      Pekerjaan yang bersifat musiman;
iv.      Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam masa percobaan atau penjajakan.
b.    Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap. Perjanjian kerja jenis ini tidak menyebutkan secara jelas kapan waktu berakhirnya perjanjian.
PKWT dengan ruang lingkup seperti tersebut di atas harus dicatatkan kepada instansi yang bertanggung di bidang ketenagakerjaan di tempat pekerjaan itu diadakan. PKWT yang dicatatkan harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.[18]
a.       Perjanjian kerja harus dibuat tertulis, serta menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin. Apabila PKWT yang dibuat tidak tertulis atau tidak menggunakan bahasa Indonesia dan tulisan latin, maka PKWT tersebut dinyatakan sebagai PKWTT.
b.      Dalam hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara pengusaha dan pekerja, maka yang berlaku adalah perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
c.       PKWT tidak dapat mmpersyaratkan adanya masa percobaan dan apabila masa percobaan diatur, maka pasal yang mengatur masa percobaan tersebut batal demi hukum.
d.      PKWT yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2 (dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Apabila PKWT diadakan lebih dari 2 (dua) tahun atau diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun, maka demi hukum PKWT tersebut langsung berubah menjadi PKWTT.
Berdasarkan Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa perjanjian kerja waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan, atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu antara pekerja dan perusahaan outsourcing harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Tidak terpenuhinya ketentuan tersebut, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja dan perusahaan outsourcing beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi pekerjaan.

BERAKHIRNYA HUBUNGAN KERJA
 
Berakhirnya hubungan kerja biasa disebut dengan istilah pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan pengertian pemutusan hubungan kerja, yaitu pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
Jenis PHK bila dilihat dari aspek inisiatif dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu[19]:
a.    Pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pengusaha;
b.    Pemutusan hubungan kerja atas inisiatif pekerja;
c.    Pemutusan hubungan kerja atas inisiatif kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja).
Pemutusan hubungan kerja apabila dilihat dari alasan pengakhiran hubungan kerja dapat digolongkan dalam 4 (empat) jenis, yaitu[20]:
a.    Alasan-alasan yang berkenaan dengan pribadi pekerja atau yang melekat pada pribadi pekerja, misalnya tidak cakap, tidak mampu, dan lain-lain;
b.    Alasan-alasan yang berhubungan dengan kelakuan pekerja, misalnya tidak memenuhi kewajibannya, melanggar disiplin, dan lain-lain;
c.    Alasan-alasan yang berkenaan dengan jalannya perusahaan, misalnya perusahaan mengalami kerugian, efisiensi, dan lain-lain;
d.   Alasan-alasan yang berhubungan dengan kelakuan pengusaha, misalnya tidak memenuhi kewajibannya membayar upah tepat pada waktunya, tidak memenuhi isi perjanjian kerja (wanprestasi), perusahaan melakukan pelanggaran hukum, dan lain-lain.
Berakhirnya perjanjian kerja juga dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja atau PHK. Perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha berakhir apabila[21]:
a.       Pekerja meninggal dunia;
b.      Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
c.       Adanya putusan pengadilan dan/atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
d.      Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Misalnya bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan keamanan;
e.       Salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, maka pihak yang memutuskan hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Secara umum bila terjadi pemutusan hubungan kerja, pihak yang paling merasakan akibatnya adalah pekerja, karena pemutusan hubungan kerja mengakibatkan tidak bekerjanya pekerja, sehingga akan terputus mata pencahariannya dan bahkan akan menimbulkan penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Khususnya bagi pekerja dengan perjanjian kerja waktu tertentu, maka begitu habis masa kontrak kerjanya, berakhirlah hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha (perusahaan), sehingga pekerja tidak lagi bekerja. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan hukum bagi pekerja setelah putusnya hubungan kerja agar mendapatkan hak-hak yang seharusnya diterima, seperti pesangon atau tali asih.


[1] Masri Hasyar, 2005, Kajian Penerapan Undang-Undang No. 13/2003, Sekretariat Direktorat Jenderal Pembinan Hubungan Industrial, Depnakertrans RI, Jakarta, hal. 8-9.
[2] Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 33.
[3] Imam Soepomo, 2001, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Industrial, Pradnya Paramita, Bandung, hal. 15.
[4] Mathius Tambing dan Atum Burhanuddin, op.cit., hal. 54.
[5] Mohammad Syaufi Syamsuddin, 2005, Perjanjian-Perjanjian dalam Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, hal. 88.
[6] Agusmidah, dkk., 2012, Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan di Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. 56.
[7] Abdul R., Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, Indeks, Jakarta, hal. 27.
[8] Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung, hal. 4.
[9] Asri Wijayanti, 2011, Menggugat Konsep Hubungan Kerja, Lubuk Agung, Bandung, hal. 55.
[10] R. Subekti, 2013, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal. 1.
[11] J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 27.
[12] Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, hal. 272.
[13] R. Subekti, op.cit., hal. 63.
[14] Djumadi, 1995, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB) dalam Hubungan Industrial Pancasila, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 28.
[15] Anonim, 2011, Perjanjian Kerja, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pegawai, Kemenakertrans RI, Jakarta, hal. 11.
[16] Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan.
[17] Myra M. Hanartani, dkk., 2009, Pengantar Hukum Perburuhan, Dirjend. Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Depnakertrans RI, Jakarta, hal. 11 – 12.
[18] Anonim, 2011, Op.cit., Perjanjian Kerja, hal. 7 – 8.
[19] Myra M. Hanartani, dkk., 2009, Op.cit., hal. 257.
[20] Aruan Reytman, 2007, Komentar dan Penjelasan UU Ketenagakerjaan, Mitra Sinergi Bangun Insan Negeri, Bekasi, hal. 253.
[21] Anonim, 2011, Op.cit., Perjanjian Kerja, hal. 13 – 14.