Sabtu, 14 November 2015

PERLINDUNGAN HUKUM BAGI NASABAH BANK SYARIAH DI INDONESIA



Bank merupakan inti dari sistem keuangan di setiap negara yang memiliki peran penting mengawal laju gerak usaha atau bisnis perekonomian. Pentingnya bank dalam sektor bisnis dan perekonomian terwujud dalam bentuk pilihan masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha, untuk menjadikan bank sebagai tempat penyimpanan dana, bertransaksi maupun permodalan. 

Bank dengan fungsinya yang antara lain sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak yang kekurangan dan memerlukan dana (lock of funds), serta melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian masyarakat. Dengan kondisi yang demikian, maka bank adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan masyarakat. Guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank, pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga atau oknum pegawai bank yang tidak bertanggung jawab dan merusak sendi kepercayaan masyarakat.[1]

Banyaknya bank di Indonesia baik dalam sistem konvensional maupun syariah tidak menjamin semuanya menjalankan usaha perbankan secara sehat. Adanya kemungkinan lahirnya masalah yang merugikan nasabah merupakan keniscayaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi jika melihat posisi nasabah sebagai pihak yang cenderung lemah dibandingkan pihak bank. 

Kenyataan di lapangan, terjadi banyak pelaku usaha/pihak perbankan memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus mendapatkan sanksi hukum. Minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip mencari keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber daya yang ada.[2]

Lemahnya posisi nasabah selaku konsumen disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman hukum yang dimiliki oleh mereka, perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, dan peraturan-peraturan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi kepentingan dan hak-hak nasabah. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan hukum bagi nasabah dalam dunia perbankan sebagai bagian dari penegakan hukum. Shidarta menyatakan bahwa salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalam memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.[3]
 
Perlindungan hukum diperlukan tidak hanya bagi nasabah bank konvensional, tetapi bagi setiap lembaga keuangan, termasuk bagi nasabah bank syariah. Apalagi perbankan syariah merupakan sistem perbankan yang belum lama berlangsung di Indonesia, sehingga sangat mungkin melahirkan berbagai bentuk permasalahan dalam praktek yang kemudian merugikan pihak nasabah selaku konsumen utama bank syariah.

Lembaga perbankan syariah sama seperti lembaga perbankan konvensional, sangat bergatung terhadap kepercayaan dari masyarakat. Tanpa ada kepercayaan masyarakat, bank tidak akan mampu menjalankan kegiatan usahanya dengan baik. Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat terhadap bank, perlu adanya perlindungan hukum yang disediakan bagi kepentingan masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan. Perlindungan hukum inilah yang akan melindungi nasabah dari kemungkinan terjadinya kerugian, sekaligus membantu bank itu sendiri agar tetap mendapat kepercayaan dari masyarakat.

A.  Pengertian Bank Syariah dan Nasabah
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang-perorangan, badan-badan usaha swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
 Pengertian bank sebagaimana dirumuskan dalam Black’s Law Dictionary adalah An institution, usually incopated, whose business to receive money on deposit, cash, checks or drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes payable to bearer known as bank notes.
 Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bank adalah usaha di bidang keuangan yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
 Ruddy Tri Santoso memberikan sebuah definisi bahwa bank adalah suatu industri yang bergerak di bidang kepercayaan, yang dalam hal ini adalah sebagai media perantara keuangan (financial intermediary) antara debitur dan kreditur dana.[4] Sementara R. Tjipto Adinugroho memberikan definisi bank sebagai lembaga atau badan yang mempunyai pekerjaan memberikan kredit, menerima kredit berupa simpanan (deposito) disamping mengenai kiriman uang dan sebagainya.[5]
 Pengertian bank berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan hajat hidup orang banyak.
Perbankan di Indonesia menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Sedangkan prinsip operasionalnya menggunakan prinsip konvensional dan prinsip syariah.
Bank syariah, atau ada pula yang menyebut dengan istilah bank Islam, merupakan salah satu bentuk dari perbankan nasional yang mendasarkan operasionalnya pada syariat (hukum) Islam. Menurut Sudarsono, bank syariah adalah lembaga keuangan yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah.[6] Bank syariah mendapatkan legitimasi dalam bentuk yang konkrit dan kuat dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah.
Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah menjelaskan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan prinsip syariah, dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat Syariah. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.[7]
Pihak yang paling berpengaruh bagi perkembangan bank syariah adalah nasabah. Nasabah bank syariah adalah pihak yang menggunakan jasa bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah. Nasabah bank syariah dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu sebagai berikut[8] :

  1. Nasabah penyimpan, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan.
  2. Nasabah investor, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan.
  3. Nasabah penerima fasilitas, yaitu nasabah yang menerima fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.

Ditinjau dari praktek perbankan, dikenal tiga macam nasabah, yaitu sebagau berikut:

  1. Nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya.
  2. Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah dan sebagainya.
  3. Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir selaku pembeli dengan eksportir menggunakan fasilitas letter of credit.



B.  Perlindungan Hukum
Posisi nasabah sangatlah lemah bila dibandingkan dengan posisi bank, baik bank konvensional maupun bank syariah. Setidaknya ada dua hubungan hukum antara bank dengan nasabah yang dinilai “tidak adil”. Pertama, ketika bank bertindak sebagai kreditur, nasabah memberikan perlindungan hukum dalam bentuk penyerahan dokumen atau agunan (seperti sertifikat tanah atau SK PNS), guna menjamin pelunasan hutang nasabah. Hal semacam ini tentu menguntungkan pihak bank. Kedua, nasabah sama sekali tidak menguasai dokumen atau agunan dari bank guna menjamin hutang bank kepada nasabah dalam bentuk giro, deposito, tabungan atau bentuk lainnya. Nasabah hanya berpekal “kepercayaan” saja kepada bank. Ini juga tentunya menguntungkan bank.
Praktek perbankan juga menempatkan konsumen dalam posisi yang semakin lemah. Bank dilindungi dengan perjanjian standar perbankan dalam bentuk berbagai klausula sepihak yang dibuat oleh pihak bank. Nasabah dipaksa tunduk terhadap segala petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah berlaku maupun yang akan diberlakukan kemudian tanpa mempersoalkan setuju tidaknya nasabah terhadap ketentuan-ketentuan yang ada.
Keadaan yang demikian menuntut adanya perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah. Hukum seharusnya memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status hukumnya karena pada prinsipnya setiap orang memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Dalam perwujudannya, negara wajib memberikan perlindungan hukum secara nyata kepada setiap warga negaranya tanpa terkecuali yang pelaksanaannya dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Perlindungan hukum tidak memiliki pengertian yang secara khusus diatur di dalam perundang-undangan. Namun, secara umum pengertian perlindungan hukum dapat dijumpai dari pernyataan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa perlindungan hukum adalah perlindungan terhadap hal dan kepentingan pribadi setiap pihak berdasarkan hukum yang berlaku.[9]
Menurut Sulistyandari, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah sebagai hal yang berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan, yaitu memberikan atau mengatur hak dan kewajiban subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk mempertahankan haknya tersebut.[10]
Perlindungan hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepasian hukum. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan) maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik secara tertulis maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.[11]
Menurut Philipus M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Suparto Wijoyo, perlindungan hukum bagi rakyat dibedakan atas dua macam, yaitu sebagai berikut[12]:
1.   Perlindungan hukum yang preventif
Perlindungan hukum yang preventif kepada rakyat yaitu dilakukan melalui upaya peran serta (inspraak) ataupun dengar pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
2.   Perlindungan hukum yang represif 
Perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum represif dilakukan antara lain melalui peradilan umum dan peradilan administrasi negara.


C.  Perlindungan Hukum dari Tidak Sehatnya Bank
Undang-Undang Pebankan yang berlaku di Indonesia tidak memberikan regulasi yang tegas mengenai perlindungan hukum nasabah atas kegagalan bank (bank failure) atau atas praktik-praktik perbankan yang tidak sehat. Padahal kedua masalah tersebut akan membuat resah nasabah. Perlindungan hukum yang diamanahkan Undang-Undang Perbankan tidak dapat dipisahkan dari upaya menjaga kelangsungan bank dalam sistem perbankan nasional.
Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank mengalami suatu kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya. Kesulitan tersebut dapat berupa kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lain sebagainya, hal tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang sehat.
Bank yang termasuk dalam kategori “bermasalah” dapat digolongkan menjadi dua, yaitu[13]:
1.    Bank yang bermasalah secara struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi yang sangat parah dan setiap saat dapat terancam keberlangsungannya. Karakteristik bank yang masuk ke dalam kategori ini antara lain kualitas aktiva produktif tidak sehat, mengalami rugi cukup besar serta likuidasi yang buruk. Keadaan yang seperti ini biasanya disebabkan pemilik banyak ikut campur tangan dalam pengelolaan manajemen yang dapat dilihat dari besarnya kredit yang diberikan kepada grup atau kelompok pemilik.
2.    Bank yang bermasalah secara non-struktural, yang masuk ke dalam kategori ini biasanya dengan karakteristik pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam pengelolaan manajemen dan menyadari kesalahannya. Dan walaupun bank dalam kondisi rentabilitas cenderung memburuk, namum modal bank masih mencukupi penyediaan modal minimum. Kategori bank seperti ini memiliki tingkat kesehatan yang kurang atau tidak sehat.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan atas suatu perjanjian. Untuk itu tentu merupakan suatu yang wajar apabila kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum, sebagaimana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Tidak dapat disangkal memang telah ada political will dari pemerintah untuk melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah penyimpan dana. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan.[14]
Banyak cara upaya dan tindakan pencegahan yang dapat dilakukan oleh bank yang bersangkutan untuk nasabah sebagai penyimpan dana yakni Perlindungan secara langsung dan Perlindungan secara tidak langsung. Perbedaan upaya sangat mempengaruhi upaya dan tindakan pencegahan di atas. Perbedaannya, jika upaya perlindungan secara langsung, hak preferen milik nasabah penyimpan dana dan lembaga asuransi deposito. Sedangkan upaya perlindungan secara tidak langsung adalah prinsip kehati-hatian (Prudential Principle), Batas Maximum Pemberian Kredit (BMPK), kewajiban mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi, merger, konsolidasi, dan akusisi bank.[15]
Prinsip kehati-hatian (prudential principle) mengandung pengertian bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan usahanya menggunakan prinsip yang mengharuskan pihak bank selalu berhati-hati dalam menjalankan kegiatan usahanya. Artinya, bank harus selalu konsisten dalam melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan profesionalisme dan itikad baik.[16] Jika bank menerapkan prinsip ini, maka kemungkinan timbulnya kesalahan dan kegagalan bank dapat dihindari sedini mungkin.
Batas maksimum pemberian kredit juga merupakan cara tidak langsung untuk melindungi kepentingan nasabah dan bank. Batas maksimum ini ditujukan untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank, sehingga bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan atau fasilitas lain sedemikian rupa agar tidak terpusat pada nasabah debitur atau kelompok nasabah debitur tertentu.[17]
Batas maksimum pemberian kredit tidak boleh melebihi 30% (tiga puluh pereratus) dari modal bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan Bank Indonesia. Bank Indonesia juga dapat menetapkan batas maksimum yang lebih rendah dari 30%. Bank Indonesia telah menetapkan batas maksimum pemberian kredit kepada peminjam atau kelompok peminjam yang merupakan pihak terkait[18] dengan bank adalah sebesar 10%, sedangkan untuk pihak yang tidak terkait sebesar 20%.
Perlindungan hukum lainnya kepada nasabah adalah adanya kewajiban bank untuk menyampaikan dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan 35 UU Perbankan. Hal ini dimaksudkan agar dapat memberikan informasi kepada nasabah, terutama nasabah penyimpan mengenai tingkat kesehatan bank dan hal-hal lainnya berkaitan dengan bank tersebut.
Pendapat lain berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap nasabah, menurut Marulak Mardede sebagaimana dikutip oleh Hermansyah, mengemukakan bahwa perlindungan hukum dalam sistem perbankan Indonesia dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu[19]:
1.    Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif, yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini diperoleh melalui :
a.    Peraturan perundang-undangan di bidang perbankan;
b. Perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan[20] dan pembinaan yang efektif, yang dilakukan oleh Bank Indonesia;
c.  Upaya menjaga kelangsungan usaha bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem perbankan pada umumnya;
d.   Memelihara tingkat kesehatan bank;
e.    Cara pemberian kredit yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah;
f.     Menyediakan informasi risiko pada nasabah.
2. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal. Perlindungan ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat, sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.

Pembentukan lembaga penjamin simpanan nasabah diperlukan dalam rangka melindungi kepentingan nasabah sekaligus meningkatkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah. Jaminan perlindungan bagi nasabah penyimpan dana di perbankan syariah adalah mutlak diperlukan. Untuk memberikan perlindungan di kemudian hari bagi kepentingan nasabah penyimpan dari bank-bank syariah yang mengalami kegagalan, maka setiap bank, termasuk bank syariah, wajib menjaminkan kepentingan (dana) para nasabahnya dalam lembaga penjamin. Kewajiban ini memberikan suatu jaminan bagi nasabah penyimpan bahwa apabila bank di mana ia menyimpan dananya mengalami kegagalan, maka dana yang disimpan di bank dapat diterimanya kembali.
Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor  24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) menyatakan bahwa tujuan pembentukan LPS adalah untuk menjamin simpanan dana nasabah pada suatu bank. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut, LPS dibebani tugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan penjaminan simpanan serta melaksanakan penjaminan simpanan. LPS juga mempunyai tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara stabilitas sistem perbankan, melaksanakan penyelesaian bank gagal yang berdampak sistemik dan tidak berdampak sistemik.
Fungsi dan tugas LPS telah diamanatkan oleh undang-undang. Namun selain yang diamanatkan undang-undang, LPS juga mempunyai beberapa wewenang, antara lain :
1.        Menetapkan serta memungut premi penjaminan, kontribusi pada saat bank pertama kali menjadi peserta.
2.        Mengelola kekayaan dan kewajiban LPS.
3.        Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank, laporan keuangan bank.
4.        Melakukan rekonsiliasi, verifikasi serta konfirmasi atas data bank.
5.        Menetapkan syarat, tata cara serta ketentuan pembayaran klaim pada nasabah.
6.        Melakukan penyuluhan pada bank dan masyarakat tentang LPS.
7.        Menjatuhkan sanksi administrasi.

D.  Perlindungan Hukum dari Penyimpangan Praktik Syariah
Industri perbankan syari’ah sejatinya dijalankan berdasarkan  prinsip dan sistem syari’ah. Bagi nasabah, niat mereka dalam memilih bank syariah sebagai tempat menyimpan dana didasarkan adanya penilaian terhadap bank syariah yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, sehingga dapat memberikan jaminan dunia akhirat bagi nasabah. Namun demikian, dalam prakteknya dimungkinkan adanya kesalahan penerapan prinsip syariah, sehingga bank syariah berjalan justru tidak sesuai dengan prinsip dan kaidah syariah.
Perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’i. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja akan dapat mendorong bank syariah melanggar ketentuan syariah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syariah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syariah yang dilakukan oleh perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah.
Berdasarkan riset DPNP-BI (2000) ada kecenderungan kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktik-praktik yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama. Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya hanya yang sekedar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil atau marjin jual beli dengan tingkat bunga bank konvensional yang berlaku hingga penempatan dana menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan bunga.[21] Jika hal semacam ini terjadi, tentu nasabah bank syariah akan merasakan dirugikan karena keinginan mereka untuk bertransaksi sesuai prinsip dan kaidah syariah dicederai oleh pihak bank.
Kesesuaian operasi dan praktek bank syariah dengan ketentuan syariah  merupakan piranti mendasar dalam perbankan syariah. Untuk melindungi ketaatan bank syariah terhadap prinsip dan kaidah syariah, maka semua perbankan yang beroperasi dengan sistem syariah wajib memiliki institusi internal yang independen, yang secara khusus bertugas memastikan bank tersebut berjalan sesuai syariah Islam. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan   dalam UU Perbankan No 10/1998 yang menyebutkan bahwa bank syari’ah wajib memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS). DPS inilah yang akan memberikan perlindungan hukum bagi nasabah dengan menjamin kepastian bank syariah berjalan sesuai prinsip dan kaidah syariah Islam.
Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) No.Kep-98/MUI/III/ 2001 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :
1.    Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah;
2.    Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN;
3.    Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran;
4.    Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.




[1] Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 337.
[2] Husni Syazali dan Heni Sri Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal. 28.
[3] Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo, Jakarta, hal. 16.
[4] Ruddy Tri Santoso, 1996, Mengenal Dunia Perbankan, Andi Offset, Yogyakarta, hal. 3.
[5] R. Tjipto Adinugroho, 1985, Perbankan Masalah Permodalan Dana Potensial, Padya Paramita, Jakarta, hal. 5.
[6] Sudarsono, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, hal. 55.
[7] Majelis Ulama Indonesia.
[8] Berdasarkan Pasal 1 angka 17 – 19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah.
[9] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, hal. 94.
[10] Sulistyandari, 2012, Hukum Perbankan: Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Perngawasan Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, hal. 283.
[11] http://www.statushukum.com/perlindungan-hukum.html, diakses tanggal 10 Oktober 2014.
[12] Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya, hal. 41.
[13] Rachmadi Usman, 2001,  Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 143
[14] Hermansyah, 2013, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, hal. 144 – 145.
[15] Ibid., hal. 146.
[16] Ibid., hal. 147.
[17] Ibid., hal. 150.
[18] Pihak terkait dengan bank sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU Perbankan, meliputi : (a) pemegang saham 10% atau lebih, (b) anggota Dewan Komisaris, (c) anggota Direksi, (d) keluarga dari no a, b, c, (e) pejabat bank lainnya, dan (f) perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dengan pihak-pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a-e.
[19] Ibid., hal. 145 - 146.
[20] Pengawasan perbankan dan lembaga keuangan lainnya sekarang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar