Bank merupakan inti dari sistem keuangan
di setiap negara yang memiliki peran penting mengawal laju gerak usaha atau
bisnis perekonomian. Pentingnya bank dalam sektor bisnis dan perekonomian
terwujud dalam bentuk pilihan masyarakat, baik perorangan maupun badan usaha,
untuk menjadikan bank sebagai tempat penyimpanan dana, bertransaksi maupun
permodalan.
Bank dengan fungsinya yang antara lain
sebagai perantara pihak-pihak yang mempunyai kelebihan dana (surplus of funds) dengan pihak-pihak
yang kekurangan dan memerlukan dana (lock
of funds), serta melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme
sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian masyarakat. Dengan kondisi
yang demikian, maka bank adalah lembaga yang mengandalkan kepercayaan
masyarakat. Guna tetap mengekalkan kepercayaan masyarakat terhadap bank,
pemerintah harus berusaha melindungi masyarakat dari tindakan lembaga atau
oknum pegawai bank yang tidak bertanggung jawab dan merusak sendi kepercayaan
masyarakat.[1]
Banyaknya bank di Indonesia baik dalam
sistem konvensional maupun syariah tidak menjamin semuanya menjalankan usaha
perbankan secara sehat. Adanya kemungkinan lahirnya masalah yang merugikan
nasabah merupakan keniscayaan yang tidak bisa diabaikan begitu saja. Apalagi
jika melihat posisi nasabah sebagai pihak yang cenderung lemah dibandingkan
pihak bank.
Kenyataan di lapangan, terjadi banyak
pelaku usaha/pihak perbankan memiliki kecenderungan untuk mengesampingkan
hak-hak konsumen serta memanfaatkan kelemahan konsumennya (nasabah) tanpa harus
mendapatkan sanksi hukum. Minimnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat
konsumen tidak mustahil dijadikan lahan bagi pelaku usaha dalam transaksi yang
tidak mempunyai itikad baik dalam menjalankan usaha, yaitu berprinsip mencari
keuntungan yang sebesar-besarnya dengan memanfaatkan seefisien mungkin sumber
daya yang ada.[2]
Lemahnya posisi nasabah selaku konsumen
disebabkan antara lain oleh kurangnya pemahaman hukum yang dimiliki oleh
mereka, perangkat hukum yang ada belum bisa memberikan rasa aman, dan
peraturan-peraturan yang ada kurang memadai untuk secara langsung melindungi
kepentingan dan hak-hak nasabah. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan
hukum bagi nasabah dalam dunia perbankan sebagai bagian dari penegakan hukum.
Shidarta menyatakan bahwa salah satu sifat sekaligus tujuan hukum adalam
memberikan perlindungan (pengayoman) kepada masyarakat.[3]
Perlindungan hukum diperlukan tidak
hanya bagi nasabah bank konvensional, tetapi bagi setiap lembaga keuangan,
termasuk bagi nasabah bank syariah. Apalagi perbankan syariah merupakan sistem
perbankan yang belum lama berlangsung di Indonesia, sehingga sangat mungkin
melahirkan berbagai bentuk permasalahan dalam praktek yang kemudian merugikan
pihak nasabah selaku konsumen utama bank syariah.
Lembaga perbankan syariah sama seperti
lembaga perbankan konvensional, sangat bergatung terhadap kepercayaan dari
masyarakat. Tanpa ada kepercayaan masyarakat, bank tidak akan mampu menjalankan
kegiatan usahanya dengan baik. Dalam rangka menjaga kepercayaan masyarakat
terhadap bank, perlu adanya perlindungan hukum yang disediakan bagi kepentingan
masyarakat, terutama kepentingan nasabah dari bank yang bersangkutan.
Perlindungan hukum inilah yang akan melindungi nasabah dari kemungkinan
terjadinya kerugian, sekaligus membantu bank itu sendiri agar tetap mendapat
kepercayaan dari masyarakat.
A. Pengertian Bank
Syariah dan Nasabah
Lembaga
perbankan merupakan inti dari sistem keuangan dari setiap negara. Bank adalah
lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang-perorangan, badan-badan usaha
swasta, badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan
menyimpan dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai
jasa yang diberikan, bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan
mekanisme sistem pembayaran bagi semua sektor perekonomian.
Pengertian
bank sebagaimana dirumuskan dalam Black’s
Law Dictionary adalah An institution,
usually incopated, whose business to receive money on deposit, cash, checks or
drafts, discount commercial paper, make loans, and issue promissory notes
payable to bearer known as bank notes.
Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian bank adalah usaha di bidang keuangan
yang menarik dan mengeluarkan uang di masyarakat, terutama memberikan kredit
dan jasa di lalu lintas pembayaran dan peredaran uang.
Ruddy
Tri Santoso memberikan sebuah definisi bahwa bank adalah suatu industri yang
bergerak di bidang kepercayaan, yang dalam hal ini adalah sebagai media
perantara keuangan (financial
intermediary) antara debitur dan kreditur dana.[4]
Sementara R. Tjipto Adinugroho memberikan definisi bank sebagai lembaga atau
badan yang mempunyai pekerjaan memberikan kredit, menerima kredit berupa
simpanan (deposito) disamping mengenai kiriman uang dan sebagainya.[5]
Pengertian
bank berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Perbankan menyebutkan bahwa bank
adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan
dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk-bentuk
lainnya dalam rangka meningkatkan hajat hidup orang banyak.
Perbankan
di Indonesia menurut jenisnya dibagi menjadi dua, yaitu Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat. Sedangkan prinsip operasionalnya menggunakan prinsip
konvensional dan prinsip syariah.
Bank
syariah, atau ada pula yang menyebut dengan istilah bank Islam, merupakan salah
satu bentuk dari perbankan nasional yang mendasarkan operasionalnya pada
syariat (hukum) Islam. Menurut Sudarsono, bank syariah adalah lembaga keuangan
yang usaha pokoknya memberikan kredit dan jasa-jasa lain dalam lalu lintas
pembayaran serta peredaran uang yang beroperasi dengan prinsip-prinsip syariah.[6]
Bank syariah mendapatkan legitimasi dalam bentuk yang konkrit dan kuat dengan
diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah.
Pasal
1 angka 7 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah menjelaskan
bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan
prinsip syariah, dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank
Perkreditan Rakyat Syariah. Selanjutnya pada Pasal 1 angka 12 disebutkan bahwa
prinsip syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.[7]
Pihak
yang paling berpengaruh bagi perkembangan bank syariah adalah nasabah. Nasabah
bank syariah adalah pihak yang menggunakan jasa bank syariah dan/atau Unit
Usaha Syariah. Nasabah bank syariah dibedakan menjadi beberapa jenis, yaitu
sebagai berikut[8] :
- Nasabah penyimpan, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk simpanan berdasarkan akad antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan.
- Nasabah investor, yaitu nasabah yang menempatkan dananya di bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dalam bentuk investasi berdasarkan akad antara bank syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan nasabah yang bersangkutan.
- Nasabah penerima fasilitas, yaitu nasabah yang menerima fasilitas dana atau yang dipersamakan dengan itu, berdasarkan prinsip syariah.
Ditinjau
dari praktek perbankan, dikenal tiga macam nasabah, yaitu sebagau berikut:
- Nasabah deposan, yaitu nasabah yang menyimpan dananya pada suatu bank, misalnya dalam bentuk deposito atau tabungan lainnya.
- Nasabah yang memanfaatkan fasilitas kredit perbankan, misalnya kredit usaha kecil, kredit kepemilikan rumah dan sebagainya.
- Nasabah yang melakukan transaksi dengan pihak lain melalui bank (walk in customer), misalnya transaksi antara importir selaku pembeli dengan eksportir menggunakan fasilitas letter of credit.
B. Perlindungan
Hukum
Posisi nasabah
sangatlah lemah bila dibandingkan dengan posisi bank, baik bank konvensional
maupun bank syariah. Setidaknya ada dua hubungan hukum antara bank dengan
nasabah yang dinilai “tidak adil”. Pertama,
ketika bank bertindak sebagai kreditur, nasabah memberikan perlindungan hukum
dalam bentuk penyerahan dokumen atau agunan (seperti sertifikat tanah atau SK
PNS), guna menjamin pelunasan hutang nasabah. Hal semacam ini tentu
menguntungkan pihak bank. Kedua,
nasabah sama sekali tidak menguasai dokumen atau agunan dari bank guna menjamin
hutang bank kepada nasabah dalam bentuk giro, deposito, tabungan atau bentuk
lainnya. Nasabah hanya berpekal “kepercayaan” saja kepada bank. Ini juga
tentunya menguntungkan bank.
Praktek
perbankan juga menempatkan konsumen dalam posisi yang semakin lemah. Bank
dilindungi dengan perjanjian standar perbankan dalam bentuk berbagai klausula
sepihak yang dibuat oleh pihak bank. Nasabah dipaksa tunduk terhadap segala
petunjuk dan peraturan bank, baik yang sudah berlaku maupun yang akan
diberlakukan kemudian tanpa mempersoalkan setuju tidaknya nasabah terhadap
ketentuan-ketentuan yang ada.
Keadaan yang
demikian menuntut adanya perlindungan hukum bagi nasabah bank syariah. Hukum
seharusnya memberikan perlindungan terhadap semua pihak sesuai dengan status
hukumnya karena pada prinsipnya setiap orang memiliki kedudukan yang sama di
hadapan hukum. Dalam perwujudannya, negara wajib memberikan perlindungan hukum
secara nyata kepada setiap warga negaranya tanpa terkecuali yang pelaksanaannya
dirumuskan dalam bentuk peraturan perundang-undangan.
Perlindungan
hukum tidak memiliki pengertian yang secara khusus diatur di dalam
perundang-undangan. Namun, secara umum pengertian perlindungan hukum dapat
dijumpai dari pernyataan Satjipto Rahardjo yang menyatakan bahwa perlindungan
hukum adalah perlindungan terhadap hal dan kepentingan pribadi setiap pihak
berdasarkan hukum yang berlaku.[9]
Menurut
Sulistyandari, yang dimaksud dengan perlindungan hukum adalah sebagai hal yang
berkaitan bagaimana hukum memberikan keadilan, yaitu memberikan atau mengatur
hak dan kewajiban subyek hukum, selain itu juga berkaitan bagaimana hukum
memberikan keadilan terhadap subyek hukum yang dilanggar haknya untuk
mempertahankan haknya tersebut.[10]
Perlindungan
hukum merupakan gambaran dari bekerjanya fungsi hukum untuk mewujudkan
tujuan-tujuan hukum, yakni keadilan, kemanfaatan dan kepasian hukum.
Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan kepada subyek hukum
sesuai dengan aturan hukum, baik itu yang bersifat preventif (pencegahan)
maupun dalam bentuk yang bersifat represif (pemaksaan), baik secara tertulis
maupun tidak tertulis dalam rangka menegakkan peraturan hukum.[11]
Menurut Philipus
M. Hadjon sebagaimana dikutip oleh Suparto Wijoyo, perlindungan hukum bagi
rakyat dibedakan atas dua macam, yaitu sebagai berikut[12]:
1. Perlindungan
hukum yang preventif
Perlindungan
hukum yang preventif kepada rakyat yaitu dilakukan melalui upaya peran serta (inspraak)
ataupun dengar pendapat sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang
definitif. Perlindungan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa.
2. Perlindungan
hukum yang represif
Perlindungan
hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Perlindungan hukum
represif dilakukan antara lain melalui peradilan umum dan peradilan
administrasi negara.
C. Perlindungan
Hukum dari Tidak Sehatnya Bank
Undang-Undang Pebankan
yang berlaku di Indonesia tidak memberikan regulasi yang tegas mengenai
perlindungan hukum nasabah atas kegagalan bank (bank failure) atau atas praktik-praktik perbankan yang tidak sehat.
Padahal kedua masalah tersebut akan membuat resah nasabah. Perlindungan hukum
yang diamanahkan Undang-Undang Perbankan tidak dapat dipisahkan dari upaya
menjaga kelangsungan bank dalam sistem perbankan nasional.
Suatu bank dikatakan bermasalah apabila bank mengalami suatu
kesulitan yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya. Kesulitan tersebut
dapat berupa kondisi usaha bank yang semakin memburuk dengan ditandainya
menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan lain sebagainya, hal
tersebut karena kurangnya pelaksanaan yang sesuai dengan prinsip kehati-hatian
dan asas perbankan yang sehat.
1. Bank yang bermasalah secara
struktural, yaitu bank yang mengalami kondisi yang sangat parah dan setiap saat
dapat terancam keberlangsungannya. Karakteristik bank yang masuk ke dalam
kategori ini antara lain kualitas aktiva produktif tidak sehat, mengalami rugi
cukup besar serta likuidasi yang buruk. Keadaan yang seperti ini biasanya
disebabkan pemilik banyak ikut campur tangan dalam pengelolaan manajemen yang
dapat dilihat dari besarnya kredit yang diberikan kepada grup atau kelompok
pemilik.
2. Bank yang bermasalah secara
non-struktural, yang masuk ke dalam kategori ini biasanya dengan karakteristik
pemilik tidak begitu banyak ikut campur dalam pengelolaan manajemen dan
menyadari kesalahannya. Dan walaupun bank dalam kondisi rentabilitas cenderung
memburuk, namum modal bank masih mencukupi penyediaan modal minimum. Kategori
bank seperti ini memiliki tingkat kesehatan yang kurang atau tidak sehat.
Hubungan hukum antara nasabah penyimpan dan bank didasarkan
atas suatu perjanjian. Untuk itu tentu merupakan suatu yang wajar apabila
kepentingan dari nasabah yang bersangkutan memperoleh perlindungan hukum,
sebagaimana perlindungan yang diberikan oleh hukum kepada bank. Tidak dapat
disangkal memang telah ada political will
dari pemerintah untuk melindungi kepentingan nasabah bank, terutama nasabah
penyimpan dana. Ini dibuktikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Nomor 8
Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, selain yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang
Perbankan.[14]
Banyak cara upaya dan tindakan pencegahan yang dapat
dilakukan oleh bank yang bersangkutan untuk nasabah sebagai penyimpan dana
yakni Perlindungan secara langsung dan Perlindungan secara tidak langsung.
Perbedaan upaya sangat mempengaruhi upaya dan tindakan pencegahan di atas. Perbedaannya,
jika upaya perlindungan secara langsung, hak preferen milik nasabah penyimpan
dana dan lembaga asuransi deposito. Sedangkan upaya perlindungan secara tidak
langsung adalah prinsip kehati-hatian (Prudential
Principle), Batas Maximum Pemberian Kredit (BMPK), kewajiban mengumumkan
neraca dan perhitungan laba rugi, merger, konsolidasi, dan akusisi bank.[15]
Prinsip kehati-hatian (prudential
principle) mengandung pengertian bahwa Perbankan Indonesia dalam melakukan
usahanya menggunakan prinsip yang mengharuskan pihak bank selalu berhati-hati dalam
menjalankan kegiatan usahanya. Artinya, bank harus selalu konsisten dalam
melaksanakan peraturan perundang-undangan di bidang perbankan berdasarkan
profesionalisme dan itikad baik.[16] Jika bank menerapkan prinsip ini,
maka kemungkinan timbulnya kesalahan dan kegagalan bank dapat dihindari sedini
mungkin.
Batas maksimum pemberian kredit juga merupakan cara tidak
langsung untuk melindungi kepentingan nasabah dan bank. Batas maksimum ini
ditujukan untuk memelihara kesehatan dan meningkatkan daya tahan bank, sehingga
bank diwajibkan menyebar risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau
pemberian pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, pemberian jaminan atau
fasilitas lain sedemikian rupa agar tidak terpusat pada nasabah debitur atau
kelompok nasabah debitur tertentu.[17]
Batas maksimum pemberian kredit tidak boleh melebihi 30%
(tiga puluh pereratus) dari modal bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
Bank Indonesia. Bank Indonesia juga dapat menetapkan batas maksimum yang lebih
rendah dari 30%. Bank Indonesia telah menetapkan batas maksimum pemberian
kredit kepada peminjam atau kelompok peminjam yang merupakan pihak terkait[18] dengan bank adalah sebesar 10%, sedangkan untuk pihak yang
tidak terkait sebesar 20%.
Perlindungan hukum lainnya kepada nasabah adalah adanya
kewajiban bank untuk menyampaikan dan mengumumkan neraca dan perhitungan laba
rugi sebagaimana diatur dalam Pasal 34 dan 35 UU Perbankan. Hal ini dimaksudkan
agar dapat memberikan informasi kepada nasabah, terutama nasabah penyimpan
mengenai tingkat kesehatan bank dan hal-hal lainnya berkaitan dengan bank
tersebut.
Pendapat lain berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap
nasabah, menurut Marulak Mardede sebagaimana dikutip oleh Hermansyah,
mengemukakan bahwa perlindungan hukum dalam sistem perbankan Indonesia dapat
dilakukan melalui dua cara, yaitu[19]:
1. Perlindungan secara implisit (implicit deposit protection), yaitu
perlindungan yang dihasilkan oleh pengawasan dan pembinaan bank yang efektif,
yang dapat menghindarkan terjadinya kebangkrutan bank. Perlindungan ini
diperoleh melalui :
a. Peraturan perundang-undangan di
bidang perbankan;
b. Perlindungan yang dihasilkan oleh
pengawasan[20] dan pembinaan yang efektif, yang
dilakukan oleh Bank Indonesia;
c. Upaya menjaga kelangsungan usaha
bank sebagai sebuah lembaga pada khususnya dan perlindungan terhadap sistem
perbankan pada umumnya;
d. Memelihara tingkat kesehatan bank;
e. Cara pemberian kredit yang tidak
merugikan bank dan kepentingan nasabah;
f. Menyediakan informasi risiko pada
nasabah.
2. Perlindungan secara eksplisit (explicit deposit protection), yaitu
perlindungan melalui pembentukan suatu lembaga yang menjamin simpanan
masyarakat, sehingga apabila bank mengalami kegagalan, lembaga tersebut yang
akan mengganti dana masyarakat yang disimpan pada bank yang gagal. Perlindungan
ini diperoleh melalui pembentukan lembaga yang menjamin simpanan masyarakat,
sebagaimana diatur dalam Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 1998 tentang
Jaminan Terhadap Kewajiban Bank Umum.
Pembentukan lembaga penjamin simpanan nasabah diperlukan
dalam rangka melindungi kepentingan nasabah sekaligus meningkatkan kepercayaan
masyarakat kepada bank syariah. Jaminan perlindungan bagi nasabah penyimpan
dana di perbankan syariah adalah mutlak diperlukan. Untuk memberikan
perlindungan di kemudian hari bagi kepentingan nasabah penyimpan dari bank-bank
syariah yang mengalami kegagalan, maka setiap bank, termasuk bank syariah, wajib
menjaminkan kepentingan (dana) para nasabahnya dalam lembaga penjamin.
Kewajiban ini memberikan suatu jaminan bagi nasabah penyimpan bahwa apabila
bank di mana ia menyimpan dananya mengalami kegagalan, maka dana yang disimpan
di bank dapat diterimanya kembali.
Pasal 4 huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin
Simpanan (LPS) menyatakan bahwa tujuan pembentukan LPS adalah untuk menjamin
simpanan dana nasabah pada suatu bank. Dalam melaksanakan fungsinya tersebut,
LPS dibebani tugas untuk merumuskan dan menetapkan kebijakan pelaksanaan
penjaminan simpanan serta melaksanakan penjaminan simpanan. LPS juga mempunyai tugas
merumuskan dan menetapkan kebijakan dalam rangka turut aktif memelihara
stabilitas sistem perbankan, melaksanakan penyelesaian bank gagal yang
berdampak sistemik dan tidak berdampak sistemik.
Fungsi dan tugas LPS telah diamanatkan
oleh undang-undang. Namun selain yang diamanatkan undang-undang, LPS juga
mempunyai beberapa wewenang, antara lain :
1.
Menetapkan serta memungut premi penjaminan, kontribusi pada
saat bank pertama kali menjadi peserta.
2.
Mengelola kekayaan dan kewajiban LPS.
3.
Mendapatkan data simpanan nasabah, data kesehatan bank,
laporan keuangan bank.
4.
Melakukan rekonsiliasi, verifikasi serta konfirmasi atas
data bank.
5.
Menetapkan syarat, tata cara serta ketentuan pembayaran
klaim pada nasabah.
6.
Melakukan penyuluhan pada bank dan masyarakat tentang LPS.
7.
Menjatuhkan sanksi administrasi.
D. Perlindungan
Hukum dari Penyimpangan Praktik Syariah
Industri perbankan syari’ah sejatinya dijalankan
berdasarkan prinsip dan sistem syari’ah. Bagi nasabah, niat mereka dalam
memilih bank syariah sebagai tempat menyimpan dana didasarkan adanya penilaian
terhadap bank syariah yang berjalan sesuai dengan ketentuan agama, sehingga
dapat memberikan jaminan dunia akhirat bagi nasabah. Namun demikian, dalam
prakteknya dimungkinkan adanya kesalahan penerapan prinsip syariah, sehingga
bank syariah berjalan justru tidak sesuai dengan prinsip dan kaidah syariah.
Perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan
yang bersifat syar’i. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik,
serta penilaian kinerja akan dapat mendorong bank syariah melanggar ketentuan
syariah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syariah dengan tingkat
pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak
ditemukannya pelanggaran aspek syariah yang dilakukan oleh perbankan
syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha
syariah.
Berdasarkan riset DPNP-BI (2000) ada kecenderungan
kekecewaan pengguna jasa perbankan syariah karena masih ada praktik-praktik
yang dinilai tidak sejalan dengan prinsip syariah, sehingga berakibat loyalitas
dan kontinuitas penggunaan jasa bank tersebut tidak dapat dipertahankan lama.
Penyimpangan prinsip syariah dapat terjadi dalam berbagai derajat, misalnya
hanya yang sekedar melakukan benchmarking tingkat bagi hasil atau marjin jual
beli dengan tingkat bunga bank konvensional yang berlaku hingga penempatan dana
menganggur pada bank-bank konvensional dengan motif memperoleh pendapatan
bunga.[21] Jika
hal semacam ini terjadi, tentu nasabah bank syariah akan merasakan dirugikan
karena keinginan mereka untuk bertransaksi sesuai prinsip dan kaidah syariah
dicederai oleh pihak bank.
Kesesuaian operasi dan praktek bank syariah dengan ketentuan
syariah merupakan piranti mendasar dalam perbankan syariah. Untuk melindungi
ketaatan bank syariah terhadap prinsip dan kaidah syariah, maka semua perbankan
yang beroperasi dengan sistem syariah wajib memiliki institusi internal yang
independen, yang secara khusus bertugas memastikan bank tersebut berjalan
sesuai syariah Islam. Hal ini sebagaimana yang diamanatkan dalam UU
Perbankan No 10/1998 yang menyebutkan bahwa bank syari’ah wajib memiliki Dewan
Pengawas Syariah (DPS). DPS inilah yang akan memberikan perlindungan hukum bagi
nasabah dengan menjamin kepastian bank syariah berjalan sesuai prinsip dan
kaidah syariah Islam.
Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat
strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut
Surat Keputusan Dewan Syariah Nasional - Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI)
No.Kep-98/MUI/III/ 2001 bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :
1. Melakukan
pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah;
2. Mengajukan
usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang
bersangkutan dan kepada DSN;
3. Melaporkan
perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya
kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran;
4. Merumuskan
permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.
[1] Muhammad Djumhana, 2006, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra
Aditya Bakti, Bandung, hal. 337.
[2] Husni Syazali dan Heni Sri
Imaniyati, 2000, Hukum Perlindungan
Konsumen, Mandar Maju, Bandung, hal. 28.
[3] Shidarta, 2000, Hukum Perlindungan Konsumen, Grasindo,
Jakarta, hal. 16.
[4] Ruddy Tri Santoso, 1996, Mengenal Dunia Perbankan, Andi Offset,
Yogyakarta, hal. 3.
[5] R. Tjipto Adinugroho, 1985, Perbankan Masalah Permodalan Dana Potensial,
Padya Paramita, Jakarta, hal. 5.
[6] Sudarsono, 2004, Bank dan Lembaga Keuangan Syariah: Deskripsi
dan Ilustrasi, Ekonisia, Yogyakarta, hal. 55.
[7] Majelis Ulama Indonesia.
[8] Berdasarkan Pasal 1 angka 17 –
19 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Bank Syariah.
[9] Satjipto Rahardjo, 1986, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung,
hal. 94.
[10] Sulistyandari, 2012, Hukum
Perbankan: Perlindungan Hukum Terhadap Nasabah Penyimpan Melalui Perngawasan
Perbankan di Indonesia, Laros, Sidoarjo, hal. 283.
[11] http://www.statushukum.com/perlindungan-hukum.html,
diakses tanggal 10 Oktober 2014.
[12] Suparto Wijoyo, 1997, Karakteristik
Hukum Acara Peradilan Administrasi, Airlangga University Press, Surabaya,
hal. 41.
[13] Rachmadi
Usman, 2001, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta, hal. 143
[14] Hermansyah,
2013, Hukum Perbankan Nasional Indonesia,
Kencana, Jakarta, hal. 144 – 145.
[15] Ibid.,
hal. 146.
[16] Ibid.,
hal. 147.
[17] Ibid.,
hal. 150.
[18] Pihak terkait dengan bank
sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (3) UU Perbankan, meliputi : (a)
pemegang saham 10% atau lebih, (b) anggota Dewan Komisaris, (c) anggota
Direksi, (d) keluarga dari no a, b, c, (e) pejabat bank lainnya, dan (f)
perusahaan-perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dengan pihak-pihak
sebagaimana dimaksud dalam huruf a-e.
[19] Ibid.,
hal. 145 - 146.
[20] Pengawasan perbankan dan lembaga
keuangan lainnya sekarang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
[21] http://www.pendidikanekonomi.com/2012/11/tantangan-perbankan-syariah-di-indonesia.html,
diakses tanggal 11 Oktober 2014.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar