PENGERTIAN HUBUNGAN KERJA
Menurut Pasal 1 angka
15 Undang-Undang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang
mempunyai unsur pekerjaan, upah dan perintah. Berdasarkan ketentuan tersebut,
maka hubungan kerja memiliki tiga unsur yaitu:
a. Pekerjaan;
b. Upah;
dan
c. Perintah.
Pengertian pekerjaan
dan perintah hingga saat ini belum diatur dalam peraturan perundang-undangan,
termasuk juga mengenai batasan dari pekerjaan. Pengertian pekerjaan dapat
diperoleh dalam glosarium ketenagakerjaan yang mendefinisikan sebagai kegiatan
fisik dan mental yang dilakukan pada waktu dan tempat tertentu. Mengenai perintah
hanya dikenal dua macam perintah dalam hubungan kerja, yaitu perintah langsung
dan tidak langsung, tertulis dan tidak tertulis.[1]
Berbeda
dengan pekerjaan dan perintah, pendefinisian upah secara tegas sudah dituangkan
dalam peraturan perundang-undangan. Berdasarkan Pasal 1 angka 30 Undang-Undang
Ketenagakerjaan, upah adalah hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan
dalam bentuk uang sebagai imbalan dari pengusaha atau pemberi kerja kepada
pekerja/buruh yang ditetapkan dan dibayarkan menurut suatu perjanjian kerja,
kesepakatan, atau peraturan perundang-undangan, termasuk tunjangan bagi
pekerja/buruh dan keluarganya atas suatu pekerjaan dan/atau jasa yang telah
atau akan dilakukan.
Menurut Abdulkadir
Muhammad, hubungan kerja adalah perikatan yang terjadi antara pemberi kerja dan
penerima kerja berdasarkan perjanjian. Hubungan kerja dapat berupa menjalankan
perusahaan atau menjalankan pekerjaan. Hubungan kerja untuk menjalankan
perusahaan, pemberi kerja adalah pengusaha, sedangkan penerima kerja adalah
pengelola perusahaan yang terdiri atas pemimpin perusahaan dan pembantu
pengusaha. Hubungan kerja untuk menjalankan pekerjaan, pemberi kerja dapat
berupa pengusaha atau bukan pengusaha, sedangkan penerima kerja selalu pekerja.[2]
Hubungan kerja terjadi
karena adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan pengusaha. Menurut Imam
Soepomo menjelaskan,
“Hubungan kerja
terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja/buruh dan
pengusaha/majikan yaitu suatu perjanjian dimana pihak kesatu, pekerja/buruh
mengikatkan diri untuk bekerja dengen menerima upah pada pihak lain
(pengusaha/majikan) yang mengikatkan diri untuk mempekerjakan pekerja/buruh
dengan membayar upah.”[3]
Berdasarkan
penjelasan-penjelasan tersebut di atas dapat dipahami mengenai hubungan kerja
bahwa[4]:
a. Hubungan
kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja yang dibuat oleh para pihak yang
menimbulkan hak dan kewajiban serta mengikat;
b. Hubungan
kerja telah menunjukkan adanya kedudukan masing-masing pada kedua belah pihak
yaitu adanya unsur perintah, pekerjaan dan upah.
Perjanjian kerja adalah
perjanjian antara pekerja dengan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat
syarat-syarat kerja, hak dan kewajiban para pihak.[5]
Perjanjian kerja outsourcing
memberikan kemungkinan adanya 2 (dua) komposisi subjek hukum yang bertindak
sebagai pihak dalam perjanjian kerja, yaitu: a) pekerja dengan pengusaha, dan
b) pekerja dengan pemberi kerja, maka logika hukumnya juga ada perbedaan antara
perjanjian kerja a) pekerja dengan pengusaha, dan b) pekerja dengan pemberi kerja.[6]
Analisa tentang
perbedaan ini harus dikaitkan dengan Pasal 50 UU Nomor 13 Tahun 2003 yang
menegaskan bahwa hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara
pengusaha dan buruh. Hal yang dapat disimpulkan di sini adalah bahwa hubungan
kerja hanya terjadi karena adanya perjanjian kerja antara buruh dan pengusaha.
Secara a contrario dapat disimpulkan
bahwa perjanjian kerja yang dibuat bukan oleh buruh dan bukan oleh pengusaha
(dalam hal ini dibuat oleh pemberi kerja) tidak melahirkan hubungan kerja.
Perjanjian kerja antara pekerja dengan pemberi kerja melahirkan hubungan hukum
tetapi bukan hubungan kerja.[7]
PERJANJIAN KERJA
Pengusaha dan pekerja
dalam memulai hubungan kerja harus membuat suatu perjanjian kerja guna
mengetahui kejelasan status dari pekerjaannya. Hal ini sangat bermanfaat bagi
pekerja outsourcing agar mengetahui
hak dan kewajiban pekerjaannya.[8]
Hubungan kerja terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara pekerja dengan
majikan atau pemberi kerja dan dilakukan minimal dua subjek hukum mengenai
suatu pekerjaan.[9]
Menurut Subekti, pengertian
perjanjian adalah suatu peristiwa di manaseorang berjanji kepada seorang
lainnya untuk melaksanakan suatu hal.[10]
Bab II Buku III KUHPerdata menyamakan antara perjanjian dengan kontrak. Hal tersebut
secara jelas terlihat dalam judul Bab II Buku III KUHPerdata, yakni Van verbitenissen die uit contract of
overeenkomst (Perikatan yang Lahir dari Kontrak atau Perjanjian).
Pasal 1313 KUHPerdata
mendefinisikan suatu perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu
orang atau lebih mengikatkan dirinya kepada satu orang atau lebih lainnya.
Definisi tersebut dianggap kurang lengkap karena hanya mengacu pada perjanjian
sepihak. Mengingat kelemahan tersebut, J. Satrio mengusulkan agar rumusan perjanjian
diubah menjadi, “perjanjian adalah suatu perbuatan yang terjadi antara satu
atau dua orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap orang lain atau di mana
kedua belah pihak saling mengikatkan diri.”[11]
Para pihak di dalam
perjanjian adalah debitur dan kreditur. Debitur adalah pihak yang memiliki
kewajiban untuk melaksanakan prestasi. Kreditur merupakan pihak yang memiliki
hak atau menuntut pemenuhan prestasi dari debitur. Di dalam perjanjian yang
bersifat timbal balik (bilateral) kewajiban ada pada kedua belah pihak. Di
dalam perjanjian kerja, pekerja memiliki kewajiban untuk melakukan pekerjaan
tertentu. Dalam posisi ini, pekerja berkedudukan sebagai debitur. Pengusaha
juga memiliki kewajiban untuk memberikan upah kepada pekerja. Dalam posisi ini,
majikan juga berkedudukan sebagai debitur.[12]
Oleh karena itu, dalam perjanjian timbal balik seperti perjanjian kerja,
pengusaha dan pekerja menjadi debitur dan kreditur sekaligus.
Perjanjian kerja
menurut Subekti didefinisikan sebagai perjanjian antara seorang buruh dengan
seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri, adanya suatu upah
atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan diperatas (dierstverhandings), yaitu suatu hubungan
berdasarkan pihak satu (majikan) berhak memberikan perintah-perintah yang harus
ditaati oleh pihak lain.[13]
Menurut M.G. Rood,
sebagaimana dikutip oleh Djumadi[14],
mengemukakan bahwa suatu perjanjian kerja baru ada apabila telah memenuhi 4
(empat) unsur yaitu :
a. Adanya
unsur work atau pekerjaan;
b. Adanya
unsur service atau peayanan;
c. Adanya
unsur time atau waktu tertentu;
d. Adanya
unsur pay atau upah.
Pembuatan
perjanjian kerja mempunyai fungsi sebagai upaya peningkatan kualitas
pelaksanaan hubungan kerja guna mewujudkan ketenangan bekerja dan ketenangan
berusaha di perusahaan. Adanya perjanjian kerja bertujuan untuk memberikan
kepastian adanya hubungan kerja, serta untuk mengetahui hak dan kewajiban
pekerja dan pengusaha. Melalui perjanjian kerja inilah pekerja dan pengusaha
akan memperoleh manfaat berupa ketenangan bekerja dan meningkatnya
produktifitas perusahaan, sehingga dapat pula berimbas pada peningkatan
kesejahteraan pekerja dan keluarganya.[15]
Perjanjian
kerja dapat dibuat dalam dua bentuk, yaitu perjanjian kerja tertulis dan
perjanjian kerja lisan. Khusus untuk perjanjian kerja waktu tertentu, maka
perjanjian kerja harus dibuat dalam bentuk tertulis. Setiap perjanjian kerja
harus memenuhi persyaratan sebagai berikut[16]:
a. Sepakat
antara pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja;
b. Pengusaha
atau pemberi kerja dan pekerja mempunyai kecakapan untuk melakukan perbuatan
hukum;
c. Adanya
pekerjaan yang diperjanjikan;
d. Pekerjaan
yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,
kesusilaan dan ketertiban umum.
Perjanjian
kerja yang dibuat oleh pengusaha atau pemberi kerja dengan pekerja yang tidak
memenuhi syarat huruf a dan b di atas, maka perjanjian kerja tersebut dapat
dibatalkan. Sedangkan perjanjian kerja yang tidak memenuhi ketentuan syarat
huruf c dan d di atas, maka perjanjian kerja tersebut batal demi hukum. Perjanjian
kerja tidak dapat ditarik kembali dan/atau diubah kecuali atas persetujuan para
pihak.
Ketentuan
dalam perjanjian kerja menyangkut besarnya upah dan cara pembayarannya, serta
syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, Peraturan
Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama yang berbeda dalam perusahaan. Menurut
Pasal 54 ayat (1) Undang-Undang Ketenagakerjaan, perjanjian kerja yang dibuat
secara tertulis sekurang-kurangnya memuat:
a. Nama,
alamat perusahaan dan jenis usaha;
b. Nama,
jenis kelamin, umur dan alamat pekerja;
c. Jabatan
atau jenis pekerjaan;
d. Tempat
pekerjaan;
e. Besarnya
upah dan cara pembayarannya;
f. Syarat-syarat
kerja yang memuat hak dan kewajiban pengusaha dan pekerja;
g. Mulai
dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;
h. Tempat
dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan
i.
Tanda tangan
para pihak dalam perjanjian kerja.
a. Perjanjian
Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan
pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk
pekerjaan tertentu. Perjanjian kerja ini hanya untuk jenis pekerjaan sebagai
berikut :
i.
Pekerjaan yang
sekali selesai atau yang sementara sifatnya;
ii.
Pekerjaan yang
diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling
lama 3 (tiga) tahun;
iii.
Pekerjaan yang
bersifat musiman;
iv.
Pekerjaan yang
berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih
dalam masa percobaan atau penjajakan.
b. Perjanjian
Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh
dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.
Perjanjian kerja jenis ini tidak menyebutkan secara jelas kapan waktu
berakhirnya perjanjian.
PKWT
dengan ruang lingkup seperti tersebut di atas harus dicatatkan kepada instansi
yang bertanggung di bidang ketenagakerjaan di tempat pekerjaan itu diadakan.
PKWT yang dicatatkan harus memperhatikan beberapa hal sebagai berikut.[18]
a. Perjanjian
kerja harus dibuat tertulis, serta menggunakan bahasa Indonesia dan huruf
latin. Apabila PKWT yang dibuat tidak tertulis atau tidak menggunakan bahasa
Indonesia dan tulisan latin, maka PKWT tersebut dinyatakan sebagai PKWTT.
b. Dalam
hal perjanjian kerja dibuat dalam bahasa Indonesia dan bahasa asing, dan
kemudian terdapat perbedaan penafsiran antara pengusaha dan pekerja, maka yang
berlaku adalah perjanjian kerja yang dibuat dalam bahasa Indonesia.
c. PKWT
tidak dapat mmpersyaratkan adanya masa percobaan dan apabila masa percobaan
diatur, maka pasal yang mengatur masa percobaan tersebut batal demi hukum.
d. PKWT
yang didasarkan pada jangka waktu tertentu dapat diadakan untuk paling lama 2
(dua) tahun dan hanya boleh diperpanjang 1 (satu) kali untuk jangka waktu
paling lama 1 (satu) tahun. Apabila PKWT diadakan lebih dari 2 (dua) tahun atau
diperpanjang lebih dari 1 (satu) tahun, maka demi hukum PKWT tersebut langsung
berubah menjadi PKWTT.
Berdasarkan
Pasal 66 ayat (2) huruf b Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa
perjanjian kerja waktu tertentu yang memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 59 Undang-Undang Ketenagakerjaan, atau perjanjian kerja waktu tidak
tertentu antara pekerja dan perusahaan outsourcing
harus dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak. Tidak
terpenuhinya ketentuan tersebut, maka demi hukum status hubungan kerja antara
pekerja dan perusahaan outsourcing
beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan pemberi
pekerjaan.
BERAKHIRNYA HUBUNGAN KERJA
Berakhirnya
hubungan kerja biasa disebut dengan istilah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal 1 angka 25 Undang-Undang Ketenagakerjaan menyebutkan pengertian pemutusan
hubungan kerja, yaitu pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang
mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja dan pengusaha.
a. Pemutusan
hubungan kerja atas inisiatif pengusaha;
b. Pemutusan
hubungan kerja atas inisiatif pekerja;
c. Pemutusan
hubungan kerja atas inisiatif kedua belah pihak (pengusaha dan pekerja).
Pemutusan
hubungan kerja apabila dilihat dari alasan pengakhiran hubungan kerja dapat
digolongkan dalam 4 (empat) jenis, yaitu[20]:
a. Alasan-alasan
yang berkenaan dengan pribadi pekerja atau yang melekat pada pribadi pekerja,
misalnya tidak cakap, tidak mampu, dan lain-lain;
b. Alasan-alasan
yang berhubungan dengan kelakuan pekerja, misalnya tidak memenuhi kewajibannya,
melanggar disiplin, dan lain-lain;
c. Alasan-alasan
yang berkenaan dengan jalannya perusahaan, misalnya perusahaan mengalami
kerugian, efisiensi, dan lain-lain;
d. Alasan-alasan
yang berhubungan dengan kelakuan pengusaha, misalnya tidak memenuhi
kewajibannya membayar upah tepat pada waktunya, tidak memenuhi isi perjanjian
kerja (wanprestasi), perusahaan
melakukan pelanggaran hukum, dan lain-lain.
Berakhirnya
perjanjian kerja juga dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja atau PHK.
Perjanjian kerja antara pekerja dan pengusaha berakhir apabila[21]:
a. Pekerja
meninggal dunia;
b. Berakhirnya
jangka waktu perjanjian kerja;
c. Adanya
putusan pengadilan dan/atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan
hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap;
d. Adanya
keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan di dalam perjanjian kerja,
peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan
berakhirnya hubungan kerja. Misalnya bencana alam, kerusuhan sosial atau gangguan
keamanan;
e. Salah
satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang
ditetapkan dalam perjanjian kerja, maka pihak yang memutuskan hubungan kerja
diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja sampai
batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
Secara
umum bila terjadi pemutusan hubungan kerja, pihak yang paling merasakan
akibatnya adalah pekerja, karena pemutusan hubungan kerja mengakibatkan tidak
bekerjanya pekerja, sehingga akan terputus mata pencahariannya dan bahkan akan
menimbulkan penderitaan bagi pekerja dan keluarganya. Khususnya bagi pekerja
dengan perjanjian kerja waktu tertentu, maka begitu habis masa kontrak
kerjanya, berakhirlah hubungan kerja antara pekerja dengan pengusaha (perusahaan),
sehingga pekerja tidak lagi bekerja. Oleh karena itu, perlu adanya perlindungan
hukum bagi pekerja setelah putusnya hubungan kerja agar mendapatkan hak-hak
yang seharusnya diterima, seperti pesangon atau tali asih.
[1] Masri Hasyar, 2005, Kajian
Penerapan Undang-Undang No. 13/2003, Sekretariat Direktorat Jenderal
Pembinan Hubungan Industrial, Depnakertrans RI, Jakarta, hal. 8-9.
[2] Abdulkadir Muhammad, op.cit., hal. 33.
[3] Imam Soepomo, 2001, Hukum
Perburuhan Bidang Hubungan Industrial, Pradnya Paramita, Bandung, hal. 15.
[4] Mathius Tambing
dan Atum Burhanuddin, op.cit., hal. 54.
[5] Mohammad Syaufi Syamsuddin,
2005, Perjanjian-Perjanjian dalam
Hubungan Industrial, Sarana Bhakti Persada, Jakarta, hal. 88.
[6] Agusmidah, dkk., 2012, Bab-Bab tentang Hukum Perburuhan di
Indonesia, Pustaka Larasan, Denpasar, hal. 56.
[7] Abdul R., Budiono, 2009, Hukum Perburuhan, Indeks, Jakarta, hal.
27.
[8] Bahder Johan Nasution, 2004, Hukum Ketenagakerjaan Kebebasan Berserikat
bagi Pekerja, Mandar Maju, Bandung, hal. 4.
[9] Asri Wijayanti, 2011, Menggugat Konsep Hubungan Kerja, Lubuk
Agung, Bandung, hal. 55.
[10] R. Subekti, 2013, Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, hal.
1.
[11] J. Satrio, 1995, Hukum Perikatan, Perikatan yang Lahir dari
Perjanjian, Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 27.
[12] Ridwan Khairandy, 2013, Hukum Kontrak Indonesia dalam Perspektif
Perbandingan (Bagian Pertama), FH UII Press, Yogyakarta, hal. 272.
[13] R. Subekti, op.cit., hal. 63.
[14] Djumadi, 1995, Kedudukan Kesepakatan Kerja Bersama (KKB)
dalam Hubungan Industrial Pancasila, Raja Grafindo, Jakarta, hal. 28.
[15] Anonim, 2011, Perjanjian Kerja, Pusat Pendidikan dan
Pelatihan Pegawai, Kemenakertrans RI, Jakarta, hal. 11.
[16] Pasal 52 ayat (1) UU
Ketenagakerjaan.
[17] Myra M. Hanartani, dkk., 2009, Pengantar Hukum Perburuhan, Dirjend.
Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Depnakertrans RI, Jakarta,
hal. 11 – 12.
[18] Anonim, 2011, Op.cit., Perjanjian Kerja, hal. 7 – 8.
[19] Myra M. Hanartani, dkk., 2009, Op.cit., hal. 257.
[20] Aruan Reytman, 2007, Komentar dan Penjelasan UU Ketenagakerjaan,
Mitra Sinergi Bangun Insan Negeri, Bekasi, hal. 253.
[21] Anonim, 2011, Op.cit., Perjanjian Kerja, hal. 13 – 14.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar