Indonesia
merupakan salah satu negara yang dituntut siap untuk memasuki era persaingan
global. Era ini memiliki konsekuensi tidak ada batasan bagi setiap individu
untuk mengembangkan bisnisnya, baik dalam lingkup kecil, menengah maupun besar.
Dengan perkembangan iklim persaingan global, mengakibatkan usaha-usaha kecil
kalah bersaing dengan usaha besar di dunia bisnis, termasuk pula dalam sektor
perdagangan.
Pasar
tradisional sebagai tempat terjadinya kegiatan ekonomi, yang mempertemukan
penjual dalam memasarkan barang dagangannya dan pembeli yang ingin memenuhi
kebutuhannya sehari-hari, juga dituntut untuk siap menghadapi persaingan usaha
yang cukup berat. Munculnya pertokoan retail modern yang saling bersaing, dinilai
oleh beberapa kalangan telah menyudutkan keberadaan pasar tradisional.
Penilaian
tersebut bukannya tanpa dasar yang kuat. Hal ini dapat dibuktikan dengan
melihat studi AC. Nielsen, bahwa pasar modern di Indonesia tumbuh 31,4% per
tahun, sedangkan pasar tradisional menyusut 8% per tahun. Rasio keinginan
masyarakat untuk berbelanja di pasar tradisional juga cenderung menurun, dari
65% di tahun 1999 menjadi 53% di tahun 2004. Sedangkan retail modern awalnya
hanya 35% pada tahun 1999 menjadi 47% di tahun 2004, sehingga omzet para
pedagang pasar tradisional turun dan omzet retail modern melambung tinggi.[1]
Pesatnya
pembangunan pasar modern dirasakan oleh banyak pihak berdampak terhadap
keberadaan pasar tradisional. Di satu sisi, pasar modern dikelola secara
profesional dengan berbagai fasilitas yang serba menarik. Di sisi lain, pasar
tradisional masih berkutat dengan permasalahan internal seputar pengelolaan
yang kurang profesional dan kekurangnyamanan ketika berbelanja. Jika pasar
tradisional tidak bersiap diri menghadapi persaingan usaha dengan pasar retail
modern, maka ribuan bahkan jutaan pedagang kecil akan kehilangan mata
pencahariannya. Pasar tradisional mungkin akan tenggelam seiring dengan
perkembangan persaingan usaha dunia retail saat ini yang didominasi oleh pasar
modern.
Kehadiran pasar
retail modern memang memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap
keberlangsungan pasar tradisional. Meskipun demikian, argumen yang mengatakan
bahwa kehadiran pasar retail modern merupakan penyebab utama tersingkirnya pasar tradisional tidak sepenuhnya
benar. Hampir seluruh pasar tradisional di Indonesia masih bergelut dengan
masalah internal pasar seperti buruknya manajemen pasar, sarana dan prasarana
pasar yang sangat minim, pasar tradisional sebagai sapi perah untuk penerimaan
retribusi, menjamurnya pedagang kaki lima (PKL) yang mengurangi pelanggan
pedagang pasar, dan minimnya bantuan permodalan yang tersedia bagi pedagang
tradisional. Keadaan ini secara tidak langsung menguntungkan pasar modern.[2]
Berbeda dengan
pasar tradisional, pasar retail modern justru menampilkan beberapa strategi
harga dan nonharga dalam menghadapi persaingan usaha guna menarik pembeli.
Mereka melakukan strategi harga seperti strategi limit harga, strategi
pemangsaan lewat pemangkasan harga (predatory
pricing), adanya diskon bagi pemegang member
card dan diskriminasi harga antar waktu (inter-temporal price discrimination) seperti diskon harga pada
akhir pekan atau pada momen tertentu.
Strategi
nonharga yang diterapkan oleh pasar retail tradisional diantaranya adalah
strategi dalam bentuk iklan, hadiah, membuka gerai lebih lama, bundling (pembelian secara gabungan),
dan parkir gratis. Selain itu, tempat yang nyaman, fasilitas yang lengkap dan
penataan barang yang baik juga menjadi kelebihan tersendiri yang dimiliki oleh
pasar retail modern.
Menjamurnya
pasar retail modern memang seperti buah simalakama dalam perekonomian suatu
daerah. Beberapa kalangan memandang positif bahwa makin meluasnya pendirian
pasar modern di Indonesia, semakin baik bagi pertumbuhan ekonomi serta iklim
persaingan usaha. Sementara itu, kalangan lain berpendapat negatif bahwa di era
globalisasi pasar tradisional telah menjadi korban dari kompetisi sengit antara
sesama pasar modern, baik lokal maupun asing. Pasar tradisional di beberapa
tempat kehilangan pelanggan akibat praktik usaha yang dilakukan oleh
minimarket, supermarket, hypermarket atau mall.
Persaingan
antara pasar tradisional dengan pasar retail modern, serta persaingan antara
pasar retail modern dengan pasar retail modern lainnya memang tidak bisa
dihindari. Membanjirnya pasar retail modern di perkotaan dan pedesaan tidak
bisa dibendung. Hal yang dapat diupayakan adalah bersiap menghadapinya dan
antisipasi agar pasar tradisional tidak tergerus oleh pasar retail modern di
tengah persaingan usaha yang bersifat global.
Pengaruh
Persaingan Usaha Pasar Retail Modern Bagi Keberlangsungan Pasar Tradisional
Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual
untuk melakukan transaksi jual beli barang atau jasa. Menurut ilmu ekonomi, pasar berkaitan dengan kegiatannya
bukan tempatnya. Ciri khas sebuah pasar adalah adanya kegiatan transaksi atau
jual beli. Para konsumen datang ke pasar untuk berbelanja dengan membawa uang
untuk membayar harganya.[3]
Pasar merupakan mata
rantai yang menghubungkan produsen dan konsumen, ajang pertemuan antara penjual
dan pembeli, antara dunia usaha dan masyarakat konsumen. Pasar memainkan
peranan yang amat penting dalam perekonomian modern, karena harga-harga
terbentuk di pasar. Menurut Subroto dan Daru Wahyuni, pasar merupakan tempat
terjadinya interaksi antara permintaan dan penawaran, dimana transaksi jual
beli terjadi setelah ada keseimbangan antara permintaan dan penawaran.[4]
Pasar tradisional
merupakan tempat bertemunya penjual dan pembeli serta ditandai dengan adanya
transaksi penjual dan pembeli secara langsung dan ditandai dengan ada proses
tawar-menawar. Dilihat dari segi bangunan, pasar tradisional biasanya terdiri
dari kios-kios atau gerai, los dan dasaran terbuka yang dibuka oleh penjual
maupun pengelola pasar. Pada umumnya pasar tradisional banyak menjual kebutuhan
sehari-hari seperti bahan-bahan makanan berupa ikan, buah, sayur-sayuran,
telur, daging, kain, pakaian, barang elektronik, jasa dan lain-lain.
Sejatinya pasar
tradisional merupakan salah satu motor penggerak dinamika perekonomian suatu
daerah. Hal ini nampak jelas bila melihat kegiatan yang ada pada pasar
tradisional, seperti kegiatan perdagangan yang tidak bisa terlepas dari
kegiatan sehari-hari manusia. Pasar tradisional menawarkan berbagai jenis
perniagaan dari sayur-sayuran yang langsung berasal dari petani hingga barang
produksi pabrik. Semakin besar pasar tradisional, maka semakin menghidupkan
tingkat perekonomian penduduk di sekitarnya.
Keberadaan pasar
tradisional sudah menjadi bagian yang tidak terlepaskan dalam kehidupan
masyarakat. Namun pada perkembangannya, semakin besar dan bervariatif latar
belakang penduduk, maka semakin besar pula tuntutan kebutuhan akan pasar, baik
secara kualitas maupun kuantitas. Sayangnya seringkali pasar tradisional seolah
tidak mengerti akan adanya tuntutan masyarakat yang menghendaki kenyamanan dan
keamanan dalam berbelanja. Hal ini diperparah dengan kondisi pasar tradisional
yang tidak tertata dengan rapi, misalnya banyak terdapat pasar tumpah yang
menjalar di sekeliling pasar, pengemis dan gelandangan yang menghiasi wajah
pasar, sisa-sisa makanan dan barang dagangan hingga tumpukan sampah yang
menghadirkan bau tidak sedap.
Keadaan pasar
tradisional yang tidak sejalan dengan tuntutan masyarakat mampu ditangkap
dengan baik oleh pasar retail modern, sehingga mereka mulai bermunculan
menghadirkan alternatif tempat belanja yang bersih, rapi dan nyaman. Keberadaan
pasar retail modern yang ‘berpenampilan menarik’ sebagai suatu hal yang baru
perlahan mampu mempengaruhi pola perilaku pembelian konsumen, di mana konsumen
dulunya hanya berbelanja di pasar tradisional kini berpindah ke pasar swalayan.
Pertumbuhan jumlah
pasar retail modern yang semakin pesat membuat persaingan usaha di bidang
perdagangan semakin ketat. Bagi pedagang yang tidak siap menghadapi persaingan
usaha dengan menggunakan berbagai strategi pemasaran yang menarik dan manajemen
yang baik, maka mereka akan tertindas atau kalah dalam persaingan usaha.
Padahal dalam sistem ekonomi pasar, aktivitas produsen dan konsumen tidak
direncanakan oleh sebuah lembaga sentral, melainkan secara individual oleh
pelaku ekonomi. Persainganlah yang bertindak sebagai tangan-tangan tidak
terlihat yang mengkoordinasikan rencana masing-masing. Sistem persaingan yang
terbentuk dapat membuat produksi dan konsumsi, serta alokasi sumber daya alam,
sumber daya manusia dan modal menjadi lebih efisien.[5]
Persaingan usaha
perdagangan antara pasar tradisional dan pasar retail modern memaksa mereka
untuk mengadakan perbaikan terhadap variabel yang mempengaruhi persepsi
konsumen untuk berbelanja. Beberapa variabel yang harus dibenahi adalah faktor
kenyamanan, keamanan, harga barang, ragam barang, kualitas barang, kemudahan
pencapaian dan keramahan pelayanan. Jika pasar tradisional mampu mengikuti
variabel-veriabel tersebut, sebagaimana telah mampu dilakukan oleh pasar retail
modern, maka eksistensi pasar tradisional akan tetap bertahan. Sebaliknya, jika
pasar tradisional tidak bersedia memenuhi variabel-variabel yang dikehendaki
oleh konsumen, maka perlahan konsumen akan meninggalkan pasar tradisional dan
beralih ke pasar modern.
Penyebab utama kalah
bersaingnya pasar tradisional dengan pasar retail modern adalah lemahnya
manajemen dan buruknya infrastruktur pasar tradisional, bukan semata-mata
karena keberadaan pasar retail modern. Pasar retail modern sebenarnya hanya
mengambil keuntungan dari kondisi buruk yang ada pada pasar tradisional.
Persoalan infrastruktur yang hingga kini masih menjadi masalah serius bagi
pasar tradisional adalah bangunan dua lantai yang kurang populer di kalangan
pembeli, kebersihan dan tempat pembuangan sampah yang kurang terpelihara, kurangnya
lahan parkir, dan buruknya sirkulasi udara. Belum lagi ditambah semakin
menjamurnya pedagang kaki lima yang merugikan pedagang yang berjualan di dalam
pasar di mana mereka harus membayar penuh sewa dan retribusi.
Alasan yang sering
keluar dari konsumen ketika menjawab pertanyaan mengapa mereka memilih pasar
retail modern, adalah karena praktis dan nyaman. Hal ini yang tentunya perlu
menjadi perhatian pasar tradisional, di mana mereka seharusnya mengkondisikan
pasar sebagai tempat yang nyaman, aman dan menyenangkan untuk berbelanja.
Ada beberapa strategi
pasar retail modern yang semakin meraih hati konsumen, seperti fasilitas
belanja yang nyaman dan menarik, diskon, hadiah dan beberapa promosi lainnya.
Di antara strategi yang patut diperhatikan adalah adanya penerapan harga di
bawah biaya marginal (predatory price)
untuk jenis barang tertentu. Strategi menetapkan harga di bawah biaya marginal
sebenarnya merupakan kegiatan yang dilarang karena akan menimbulkan persaingan
usaha yang tidak sehat.
Penetapan harga di
bawah biaya marginal di satu sisi akan menguntungkan konsumen dalam jangka
pendek, tetapi di sisi lain akan sangat merugikan pesaing. Strategi yang tidak
sehat ini pada umumnya beralasan bahwa harga yang ditawarkan merupakan hasil
kinerja peningkatan efisiensi perusahaan. Oleh karena itu, hal ini tidak akan
terdeteksi sampai pesaing dapat mengukur dengan tepat berapa harga terendah
yang sesungguhnya dapat ditawarkan pada konsumen. Pihak yang menerapkan
strategi ini akan menyerap pasar (konsumen) yang lebih besar dikarenakan
berpindahnya konsumen pada penawaran harga yang lebih rendah, sementara
pesaingnya akan kehilangan konsumen. Pada jangka yang lebih panjang, pelaku predatory pricing akan dapat bertindak
sebagai monopolis.[6]
Praktek yang pernah
terjadi adalah pasar retail modern berusaha menurunkan harga untuk komoditi
tertentu yang dicari konsumen di bawah biaya marginal yang juga jauh di bawah
harga pasar tradisional, meskipun mereka menaikkan harga untuk komoditi lainnya
di atas harga pasar tradisional sebagai konsekuensi dari subsidi silang.[7]
Sayangnya, konsumen tidak jeli melihat hal ini sehingga merasa ada satu barang
yang murah, maka yang lainnya juga dianggap murah.
Persaingan usaha yang
ketat antara sesama pasar retail modern semakin menguntungkan konsumen karena
mereka dimanjakan dengan berbagai fasilitas kenyamanan berbelanja dan harga
barang belanjaan yang lebih murah. Persaingan ini tidak hanya terdapat di
kota-kota besar yang menyajikan berbagai macam pasar retail modern mulai dari
minimarket, supermarket, hypermarket, hingga mall, tetapi juga terdapat di
kota-kota kecil dan pedesaan. Contoh yang paling nyata adalah persaingan ketat antara
Alfamart dan Indomaret yang menyajikan berbagai promo dalam bentuk hadiah,
potongan harga, parkir gratis dan berbagai terobosan lainnya untuk menarik hati
konsumen. Jika sudah demikian, maka pasar tradisional akan semakin ditinggalkan
karena konsumen lebih tertarik dengan ‘ide-ide kreatif’ yang ditawarkan oleh
pasar retail modern demi untuk memanjakan konsumennya.
Strategi
Pasar Tradisional Agar Tetap Eksis di Tengah Persaingan Usaha Pasar Retail
Modern
Persaingan usaha antara
pasar retail modern semakin ketat dan memanjakan konsumen, juga berimbas pada
berpindahnya sebagian konsumen dari pasar tradisional ke pasar modern. Meskipun
dengan kondisi yang tidak menguntungkan, tetap ditemukan adanya pasar
tradisional yang mampu bertahan karena dikelola dengan baik dan memperhatikan
seluruh aspek, seperti kebersihan, kenyamanan dan keamanan dalam berbelanja. Kelebihan
pasar tradisional yang tidak dimiliki oleh pasar retail modern juga menjadi
penyebab eksistensi pasar tradisional tetap terjaga. Kelebihan itu di antaranya
adalah jual beli dengan tawar-menawar harga, serta suasana yang memungkinkan
penjual dan pembeli menjalin kedekatan.
Contoh dari pasar
tradisional yang mampu bertahan meskipun dikelilingi oleh sedikitnya lima pasar
retail modern yang besar, ditemukan di kawasan perumahan Bumi Serpong Damai
(BSD), Tangerang. Sejak dibuka pada Juli 2004, pasar tradisional tersebut
hingga kini tetap ramai dikunjungi para pelanggan setianya. Pasar tradisional
lainnya yang masih mampu eksis di tengah gempuran pasar retail modern tentunya
masih dapat dijumpai di berbagai daerah di Indonesia.
Kasus konsumen
berbelanja di pasar retail modern perlu mendapat perhatian lebih. Jika konsumen
berbelanja kebutuhan pokok untuk sehari-hari, khususnya sembako, di pasar
retail modern, maka bisa dikatakan bahwa perilaku konsumen telah berubah. Namun
pada kenyataannya, konsumen yang berbelanja di pasar retail modern secara umum
hanya berbelanja untuk kebutuhan pelengkap saja, seperti alat tulis,
perlengkapan mandi, perlengkapan kecantikan, makanan dan minuman instan, dan
lain sebagainya yang bukan merupakan kebutuhan pokok harian. Artinya, masih ada
kepercayaan konsumen untuk menjadikan pasar tradisional sebagai pilihan utama
dalam memenuhi kebutuhan pokok konsumen sehari-hari.
Pasar tradisional dapat
bertahan dengan mengikuti tuntutan dari konsumen, yaitu meningkatkan manajemen,
meningkatkan kebersihan, kenyamanan dan memberikan jaminan keamanan dalam
berbelanja. Selain itu, kelebihan yang dimiliki pasar tradisional juga perlu
dimaksimalkan, sehingga meskipun sebagai strategi yang klasik, tetapi tetap
menarik. Saatnya pasar tradisional berani memainkan strategi klasiknya sebagai
modal utama untuk bertahan dalam persaingan usaha perdagangan dengan pasar
retail modern.
Beberapa strategi
klasik pasar tradisional yang jika diterapkan dengan baik akan mampu mengikat
konsumen, sehingga mampu bertahan dalam persaingan usaha dengan pasar modern,
di antaranya adalah sebagai berikut :
1. Adanya
tawar-menawar harga
Tawar-menawar harga tentu tidak dijumpai
dalam pasar retail modern yang memberikan bandrol harga pas bagi setiap item
dagangannya, sehingga tidak memberikan kesempatan kepada konsumen untuk menawar
atau menurunkan harga. Adapun pasar tradisional memberikan kesempatan kepada
pedagang dan konsumen untuk mengajukan penawaran harga yang dinilai paling
baik. Harga bukanlah harga mati yang tidak bisa berkurang sedikitpun, tetapi
merupakan hasil dari proses tawar-menawar yang kemudian melahirkan kesepakatan
bersama. Kesepakatan harga bisa menjadi win-win
solution bagi pihak pedagang maupun pihak konsumen, sehingga kedua pihak
akan merasa puas dalam bertransaksi.
Proses tawar-menawar adalah juga sebuah
modus awal menuju komunikasi yang lebih interpersonal, sebuah penjajagan,
membuka jaringan, membangun saling kepercayaan, di samping untuk memperoleh
kepastian harga. Di antara pihak-pihak yang bertransaksi, terdapat pengalaman
bahwa suatu pertukaran yang dilakukan sangat besar kemungkinannya tidak
dilakukan sekali, artinya terdapat keberlanjutan, sehingga ada harapan di
masa-masa berikutnya dapat berlangsung dengan tingkat kepuasan yang pernah
didapatnya. Ketika jual beli itu berlangsung berulang kali, maka proses
pertukaran yang berlangsung lebih manusiawi, menjadikan pertukaran lebih
bermakna karena adanya humanisme. Hubungan ekonomi yang merupakan hubungan
langganan memiliki nilai-nilai dan norma-norma dalam bertindak.[8]
2. Fleksibilitas
sistem pembayaran
Sistem pembayaran pada pasar tradisional
memungkinkan adanya pembayaran yang bersifat fleksibel. Apalagi jika pedagang
dan konsumen sudah saling mengenal secara baik, maka pembayaran yang fleksibel
sangat mungkin diupayakan. Sistem pembayaran secara utang atau diangsur
misalnya, merupakan salah satu strategi yang dilakukan dalam upaya
mempertahankan pelanggannya. Konsumen diberikan kesempatan untuk bayar mundur,
yaitu para konsumen ketika berbelanja mengambil barang-barang terlebih dahulu
kemudian pembayarannya pada saat akan mengambil barang dagangan lagi.
3. Perlakuan
khusus kepada pelanggan setia
Pedagang pasar tradisional tentu hafal
dengan para konsumen yang menjadi langganan setianya. Biasanya para konsumen
yang menjadi pelanggan setia berasal dari konsumen pedagang warung (bakul) yang berbelanja dalam jumlah
banyak setiap harinya karena akan dijual kembali di warungnya. Oleh karena itu,
pedagang pasar tradisional akan memberikan perlakuan khusus bagi pelanggan
setianya seperti harga yang murah, dipermudah dalam bertransaksi seperti
diperbolehkan berhutang lebih dahulu, memberi hadiah pada saat menjelang hari
raya, dan sebagainya.
4. Strategi
diskriminasi harga
Strategi ini bukanlah strategi
diskriminasi harga yang dilarang dalam persaingan usaha perdagangan.
Diskriminasi harga yang dilarang adalah
diskriminasi yang mengakibatkan konsumen yang satu harus membayar harga
yang tidak sama dengan harga yang harus dibayar pembeli lain untuk barang
dan/atau jasa yang sama. Produsen menetapkan harga yang mungkin menghasilkan
laba yang jauh lebih tinggi dari apa yang dihasilkan jika produsen hanya
menetapkan satu harga untuk semua konsumen. Strategi penetapan harga yang
berbeda ini dapat menimbulkan persaingan usaha yang tidak sehat di kalangan
pelaku usaha.[9]
Diskriminasi harga yang dimaksud di sini
adalah membedakan harga untuk konsumen rumah tangga (harga eceran) dan konsumen
pedagang warung (harga grosiran). Tingkat harga merupakan faktor penting yang
sangat mempengaruhi keputusan konsumen untuk berbelanja. Dengan adanya
pembedaan ini, maka konsumen pedagang warung akan berbelanja di pasar
tradisional, sedangkan konsumen rumah tangga juga tetap memilih pasar
tradisional untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari karena tingkat harga di pasar
tradisional lebih murah daripada di pasar retail modern.
5. Adanya
kedekatan antara pedagang dan konsumen
Pedagang di pasar tradisional pada
umumnya telah memiliki pelanggan tetap yang setia. Antara pedagang dan
pelanggan setia telah saling mengenal dan mempunyai rasa kepercayaan yang
tinggi. Hal ini terlihat ketika proses transaksi, ada percakapan-percakapan
dengan topik di luar transaksi, bahkan bercanda ria. Kebiasaan semacam itu
merupakan hal unik yang tidak ditemui di pasar retail modern.
Peningkatan tarif hidup
masyarakat membutuhkan ketersediaan berbagai macam barang yang lengkap dari
kebutuhan primer, sekunder hingga tersier. Masyarakat juga membutuhkan
fasilitas pendukung dalam berbelanja sehingga mereka merasakan kenyamanan,
kebebasan, keamanan, harga murah dan kualitas yang baik. Dalam banyak kasus,
kenyamanan berbelanja menjadi alasan utama konsumen untuk beralih dari pasar
tradisional menuju pasar retail modern. Oleh karena itu, perlu ada strategi
yang serius untuk menata pasar sehingga pasar tradisional semakin terasa nyaman
bagi konsumen.
[1] Dikutip dari Majalah SMERU,
edisi No. 22: Apr-Jun/2007.
[2] Ibid.
[3] M. Fuad, dkk., 2000, Pengantar
Bisnis, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hal. 15.
[4] Subroto dan Daru Wahyuni, 2004, Pengetahuan
Sosial Ekonomi, Bumi Aksara, Jakarta, hal. 2.
[5] Pratama Rahardja, 2010, Teori Mikroekonomi, LP-FEUI, Jakarta,
hal. 19.
[6] Ayudha D. Prayoga, dkk. (Ed.),
2000, Persaingan Usaha dan Hukum yang
Mengaturnya di Indonesia, Proyek ELIPS, Jakarta, hal. 100.
[7] Salah satu contoh yang pernah
dialami penulis adalah adanya harga minyak untuk semua merek di bawah harga
marginal pada sebuah pasar retail modern yang membuka banyak cabang melalui
bentuk waralaba, sementara harga pampers (popok bayi) berada jauh di atas harga
pasar, baik pasar tradisional maupun pasar retail modern lain yang menjadi
pesaingnya.
[8] Laksono S., 2009, Runtuhnya Modal Sosial, Pasar Tradisional,
Citra, Malang, hal. 123.
[9] Rachmadi Usman, 2004, Hukum Persaingan Usaha di Indonesia,
Ikrar Mandiri Abadi, Jakarta, hal. 48 – 49.