Selasa, 26 Maret 2013

URGENSI MEREVISI PERMENAKER THR


Tunjangan Hari Raya (THR) Keagamaan bagi pekerja/buruh seolah dianggap seperti gaji ke-13. Ia demikian penting, sehingga kehadirannya selalu dinantikan dan ketidakberadaannya dapat menimbulkan masalah dan konflik. Mengingat masyarakat Indonesia merupakan masyarakat pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing, maka sudah sewajarnya jika pemerintah mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR bagi pekerja/buruh yang hendak merayakan hari rayanya.
Pemerintah, dalam rangka menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keseragamaan mengenai pemberian THR, telah menetapkan Peraturan Menteri Nomor : PER-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di Perusahaan. Sayangnya, dengan adanya perubahan Undang-undang Ketenagakerjaan, Permenaker THR tidak turut serta mengalami penyesuaian. Permenaker 04/1994 menginduk pada UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai Tenaga Kerja. Padahal UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan ketentuan Pasal 192 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Secara yuridis formil, meskipun UU No. 14 Tahun 1969 sudah tidak berlaku, namun UU No. 13 Tahun 2003 memberikan ruang bagi pemberlakuan Permenaker 04/1994. Pada Ketentuan Peralihan, Pasal 191, menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan peraturan baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003.
Imbasnya, Permenaker 04/1994 masih tetap berlaku dan harus dilaksanakan, namun dalam pelaksanaannya dapat menimbulkan berbagai persoalan, mengingat landasan yuridis dan substansi dari Permenaker tersebut belum disesuaikan dengan UU No. 13 Tahun 2003. Menilik urgensi THR sebagai tunjangan yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja, maka seharusnya aturan yang menjadi rujukan pelaksanaan pembayaran THR ditinjau kembali. Kelemahan-kelemahan yang ada sebaiknya segera diperbaiki, sehingga tidak memberikan celah bagi pihak-pihak yang ingin memanfaatkannya, dan tidak pula menimbulkan kerugian bagi pengusaha maupun pekerja.
Ditinjau dari substansi Permenaker 04/1994, setidaknya terdapat lima point yang perlu mendapat perhatian pemerintah untuk sesegera mungkin diadakan revisi. Pertama, ketentuan 1 (satu) bulan upah. Ketentuan 1 (satu) bulan upah dijadikan sebagai besaran THR untuk pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih. Sedangkan bagi pekerja dengan masa kerja 3 – 12 bulan, dihitung secara proporsional, dengan menghitung masa kerja dibagi 12 bulan dikalikan 1 (satu) bulan upah. Persoalannya adalah, Permenaker 04
/1994 tidak menyebutkan bahwa jika upah yang diterima pekerja di bawah upah minimum, maka apakah upahnya bisa menjadi dasar perhitungan THR? Ataukah kembali kepada upah minimum?
Pasal 90 UU No. 13 Tahun 2003 menegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah dari upah minimum. Itu artinya, dasar perhitungan 1 (satu) bulan upah juga harus dinyatakan minimal sesuai dengan upah minimum, atau tidak boleh kurang darinya. Namun pada kenyataannya, masih banyak pengusaha yang membayar upah lebih rendah dari upah minimum, kemudian menjadikan upahnya sebagai dasar perhitungan THR.
Kedua, penyimpangan besarnya jumlah THR. Permenaker 04/1994 memberikan kelonggaran bagi pengusaha yang tidak mampu membayar THR sesuai Permenaker tersebut, dapat mengajukan permohonan penyimpangan besarnya jumlah THR. Prosedur dan persyaratan penyimpangan THR kemudian diatur melalui SE Dirjen Binawas No.: B.724/BW/1994. Sejalan dengan perubahan UU Ketenagakerjaan, prosedur yang diatur di dalam SE tersebut tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada, sehingga akan sulit untuk dilaksanakan.
Ketiga, penyimpangan waktu pembayaran THR. Menurut Pasal 4 ayat (2) Permenaker 04/1994, pembayaran THR selambat-lambatnya H-7 dari hari raya. Pada prakteknya, banyak pengusaha yang menentukan secara sepihak waktu pembayaran THR mendekati hari raya, H-2 atau H-1. Permenaker 04/1994 tidak mengatur bagaimana seharusnya jika hal demikian terjadi. Mungkin solusi yang dapat diambil adalah dengan membuat kesepakatan atau perjanjian bersama antara pengusaha dengan wakil pekerja/Serikat Pekerja terkait masalah waktu pembayaran THR. Namun demikian, hal ini juga harus secara tegas tertulis di dalam peraturan yang menjadi payung hukum dari THR.
Keempat, tidak mengakomodir pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang habis masa kerjanya terhitung waktu 30 hari sebelum hari raya. Besarnya upah dan pembayaran lain-lain bagi pekerja memang ditentukan secara jelas dalam PKWT-nya. Namun, jika pemerintah mau bersikap adil, di mana THR merupakan tunjangan yang wajib dibayar oleh pengusaha, maka seharusnya pekerja PKWT yang berakhir hubungan kerjanya di dalam kurun waktu 30 hari sebelum hari raya berhak atas THR. Bukankah mereka juga akan merayakan hari raya? Akan tetapi, pemikiran seperti nampaknya belum menjadi perhatian serius dari pemerintah.
          Kelima, sanksi bagi pengusaha yang melanggar. Permenaker 04/1994 merunjuk ketentuan Pasal 17 UU No. 14 Tahun 1969, dalam hal terjadi pelanggaran pengusaha tidak membayar THR atau membayar tidak sesuai dengan waktunya. Karena UU No. 14 Tahun 1969 telah dinyatakan tidak berlaku, maka terjadi kekosongan hukum. Artinya, meskipun THR diwajibkan, tetapi tidak ada sanksi bagi pengusaha yang melanggarnya.
Menyikapi berbagai kelemahan Permenaker 04/1994 tersebut, seharusnya pemerintah melalui Kemenakertrans  bertindak cepat dan bijaksana mengambil langkah yang tepat guna perbaikan produk hukum yang tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang ada. Jangan sampai hanya karena adanya sekian kelemahan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, akan mengakibatkan adanya konflik atau perselisihan hubungan industrial antara pengusaha dan pekerja/buruh. Pada gilirannya, pengusaha dan pekerja/buruh yang akan menjadi korban, serta cita-cita mewujudkan hubungan industrial yang harmonis, serasi dan berkeadilan hanya akan menjadi angan-angan belaka.

2 komentar:

  1. Permenaker 4/1994 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Permenaker 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

    BalasHapus
  2. Permenaker 4/1994 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Permenaker 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.

    BalasHapus