Tunjangan
Hari Raya (THR) Keagamaan bagi pekerja/buruh seolah dianggap seperti gaji
ke-13. Ia demikian penting, sehingga kehadirannya selalu dinantikan dan
ketidakberadaannya dapat menimbulkan masalah dan konflik. Mengingat masyarakat
Indonesia merupakan masyarakat pemeluk agama yang setiap tahunnya merayakan
hari raya keagamaan sesuai dengan agamanya masing-masing, maka sudah sewajarnya
jika pemerintah mewajibkan pengusaha untuk memberikan THR bagi pekerja/buruh
yang hendak merayakan hari rayanya.
Pemerintah,
dalam rangka menciptakan ketenangan usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja
dan keseragamaan mengenai pemberian THR, telah menetapkan Peraturan Menteri
Nomor : PER-04/Men/1994 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja di
Perusahaan. Sayangnya, dengan adanya perubahan Undang-undang Ketenagakerjaan,
Permenaker THR tidak turut serta mengalami penyesuaian. Permenaker 04/1994
menginduk pada UU No. 14 Tahun 1969 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Mengenai
Tenaga Kerja. Padahal UU tersebut telah dinyatakan tidak berlaku berdasarkan
ketentuan Pasal 192 UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Secara
yuridis formil, meskipun UU No. 14 Tahun 1969 sudah tidak berlaku, namun UU No.
13 Tahun 2003 memberikan ruang bagi pemberlakuan Permenaker 04/1994. Pada
Ketentuan Peralihan, Pasal 191, menyatakan bahwa semua peraturan pelaksana
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dan/atau belum diganti dengan
peraturan baru berdasarkan UU No. 13 Tahun 2003.
Imbasnya,
Permenaker 04/1994 masih tetap berlaku dan harus dilaksanakan, namun dalam
pelaksanaannya dapat menimbulkan berbagai persoalan, mengingat landasan yuridis
dan substansi dari Permenaker tersebut belum disesuaikan dengan UU No. 13 Tahun
2003. Menilik urgensi THR sebagai tunjangan yang wajib dibayarkan oleh
pengusaha kepada pekerja, maka seharusnya aturan yang menjadi rujukan
pelaksanaan pembayaran THR ditinjau kembali. Kelemahan-kelemahan yang ada
sebaiknya segera diperbaiki, sehingga tidak memberikan celah bagi pihak-pihak
yang ingin memanfaatkannya, dan tidak pula menimbulkan kerugian bagi pengusaha
maupun pekerja.
Ditinjau dari
substansi Permenaker 04/1994, setidaknya terdapat lima point yang perlu
mendapat perhatian pemerintah untuk sesegera mungkin diadakan revisi. Pertama,
ketentuan 1 (satu) bulan upah. Ketentuan 1 (satu) bulan upah dijadikan sebagai
besaran THR untuk pekerja dengan masa kerja 12 bulan atau lebih. Sedangkan bagi
pekerja dengan masa kerja 3 – 12 bulan, dihitung secara proporsional, dengan
menghitung masa kerja dibagi 12 bulan dikalikan 1 (satu) bulan upah.
Persoalannya adalah, Permenaker 04
/1994 tidak menyebutkan bahwa jika upah yang
diterima pekerja di bawah upah minimum, maka apakah upahnya bisa menjadi dasar
perhitungan THR? Ataukah kembali kepada upah minimum?
Pasal 90 UU
No. 13 Tahun 2003 menegaskan, pengusaha dilarang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum. Itu artinya, dasar perhitungan 1 (satu) bulan upah juga
harus dinyatakan minimal sesuai dengan upah minimum, atau tidak boleh kurang darinya.
Namun pada kenyataannya, masih banyak pengusaha yang membayar upah lebih rendah
dari upah minimum, kemudian menjadikan upahnya sebagai dasar perhitungan THR.
Kedua,
penyimpangan besarnya jumlah THR. Permenaker 04/1994 memberikan kelonggaran
bagi pengusaha yang tidak mampu membayar THR sesuai Permenaker tersebut, dapat
mengajukan permohonan penyimpangan besarnya jumlah THR. Prosedur dan
persyaratan penyimpangan THR kemudian diatur melalui SE Dirjen Binawas No.:
B.724/BW/1994. Sejalan dengan perubahan UU Ketenagakerjaan, prosedur yang
diatur di dalam SE tersebut tidak relevan lagi dengan perkembangan yang ada,
sehingga akan sulit untuk dilaksanakan.
Ketiga,
penyimpangan waktu pembayaran THR. Menurut Pasal 4 ayat (2) Permenaker 04/1994,
pembayaran THR selambat-lambatnya H-7 dari hari raya. Pada prakteknya, banyak
pengusaha yang menentukan secara sepihak waktu pembayaran THR mendekati hari
raya, H-2 atau H-1. Permenaker 04/1994 tidak mengatur bagaimana seharusnya jika
hal demikian terjadi. Mungkin solusi yang dapat diambil adalah dengan membuat
kesepakatan atau perjanjian bersama antara pengusaha dengan wakil
pekerja/Serikat Pekerja terkait masalah waktu pembayaran THR. Namun demikian,
hal ini juga harus secara tegas tertulis di dalam peraturan yang menjadi payung
hukum dari THR.
Keempat,
tidak mengakomodir pekerja dengan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang
habis masa kerjanya terhitung waktu 30 hari sebelum hari raya. Besarnya upah
dan pembayaran lain-lain bagi pekerja memang ditentukan secara jelas dalam
PKWT-nya. Namun, jika pemerintah mau bersikap adil, di mana THR merupakan
tunjangan yang wajib dibayar oleh pengusaha, maka seharusnya pekerja PKWT yang
berakhir hubungan kerjanya di dalam kurun waktu 30 hari sebelum hari raya
berhak atas THR. Bukankah mereka juga akan merayakan hari raya? Akan tetapi,
pemikiran seperti nampaknya belum menjadi perhatian serius dari pemerintah.
Kelima,
sanksi bagi pengusaha yang melanggar. Permenaker 04/1994 merunjuk ketentuan
Pasal 17 UU No. 14 Tahun 1969, dalam hal terjadi pelanggaran pengusaha tidak
membayar THR atau membayar tidak sesuai dengan waktunya. Karena UU No. 14 Tahun
1969 telah dinyatakan tidak berlaku, maka terjadi kekosongan hukum. Artinya,
meskipun THR diwajibkan, tetapi tidak ada sanksi bagi pengusaha yang
melanggarnya.
Menyikapi
berbagai kelemahan Permenaker 04/1994 tersebut, seharusnya pemerintah melalui
Kemenakertrans bertindak cepat dan
bijaksana mengambil langkah yang tepat guna perbaikan produk hukum yang tidak
sesuai lagi dengan perkembangan yang ada. Jangan sampai hanya karena adanya
sekian kelemahan dalam suatu peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah, akan
mengakibatkan adanya konflik atau perselisihan hubungan industrial antara
pengusaha dan pekerja/buruh. Pada gilirannya, pengusaha dan pekerja/buruh yang
akan menjadi korban, serta cita-cita mewujudkan hubungan industrial yang
harmonis, serasi dan berkeadilan hanya akan menjadi angan-angan belaka.
Permenaker 4/1994 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Permenaker 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
BalasHapusPermenaker 4/1994 telah dinyatakan tidak berlaku lagi dengan diundangkannya Permenaker 6/2016 tentang Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja/Buruh di Perusahaan.
BalasHapus